Tips Agar Anak Tegak Di Atas Fitrah, Ini Yang Harus Dilakukan Orangtua

0
476
Keluarga muslim ( ilustrasi foto: pixabay)

Penulis: M. Fauzil Adhim*

PERCIKANIMAN.ID – – Titik awal upaya memperoleh keturunan yang shalih penuh barakah dan menjaga mereka agar tetap dalam keadaan fithrah adalah saat suami-istri berhubungan intim. Ada yang sangat berharap keturunan penuh barakah, tetapi memulainya dengan cara yang menyelisihi tuntunan.

Mari kita ingat sejenak hadits mursal tetapi berderajat hasan riwayat ‘Abdur Razaq:

“Jika seseorang mendatangi istrinya (berhubungan intim), maka ucapkanlah ‘Dengan menyebut asma Allah. Ya Allah, barakahilah kami dan keturunan yang dihasilkan dari hubungan intim ini, dan jangan jadikan setan menjadi bagian pada keturunan kami’. Dari doa ini, jika istrinya hamil, maka anak yang dilahirkan adalah anak yang shalih” (Riwayat ‘Abdur Razaq).

Inilah ikhtiar awal memperoleh karunia anak-anak yang shalih. Setiap anak memang lahir dalam keadaan fitrah, di zaman apa pun mereka lahir dan dimana pun mereka tinggal. Tetapi ada anak-anak yang diistimewakan oleh Allah ‘Azza wa Jalla dan dilebihkan atas manusia lainnya, ada pula anak-anak yang memperoleh penjagaan dari Allah Ta’ala sehingga mereka shalih; lebih terjaga fitrahnya, mudah tergerak kepada keshalihan.

Mari sejenak kita ingat sabda RasuluLlah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam:

كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ

Setiap anak yang lahir dilahirkan di atas fitrah, maka kedua orangtuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Majusi, atau Nasrani.” (Riwayat   Bukhari dan Muslim).

Hadits ini menunjukkan dengan sangat jelas kepada kita setiap anak lahir dalam keadaan fitrah; siapa pun orangtuanya. Apa itu fitrah?

Para ulama menjelaskan, fitrah adalah tauhid atau millah, yakni agama Islam yang hanif. Tidak akan menyimpang seorang anak, kecuali kedua orangtuanyalah yang menentukan apakah mereka akan menjadi Yahudi, Majusi atau Nasrani.

Dalam beberapa hadits lain, Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan kedua orangtualah yang menjadikannya Yahudi, musyrik atau kafir. Menariknya, di seluruh hadis yang menggunakan perkataan “يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ”, sepanjang saya ketahui semuanya menyebut Yahudi di urutan pertama penyimpangan fitrah.

Ini menandakan betapa penting kita berhati-hati sekaligus betapa besar godaan untuk memalingkan fitrah anak sehingga berkeyakinan seperti Yahudi, meskipun secara formal agamanya bukan Yahudi. Mengapa demikian? Sebab agama Yahudi bersifat eksklusif, yakni hanya untuk orang yang memiliki ras Yahudi. Tidak terbuka bagi ras selainnya.

Lalu kapan fitrah anak dapat berpaling? Apa pintu yang menyebabkan anak menyimpang dari fitrahnya?

Berkenaan dengan ini, mari kita renungi sabda Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam:

Setiap anak yang lahir dilahirkan di atas fitrah hingga ia fasih (berbicara), maka kedua orangtuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nashrani, atau Majusi.” (Riwayat Baihaqi).

Apa pelajaran dari hadits ini? Pertama, anak itu lahir dan tumbuh dalam keadaan fitrah hingga ia dapat bertutur dengan baik menggunakan lisannya (يُعْرِبَ عَنْهُ لِسَانُهُ). Kedua, pintu perubahan yang memalingkan anak dari fitrah adalah lisan. Ini merupakan pintu utama yang menjauhkan anak dari fitrah.

Ketiga, fitrah itu semakin lama bukan semakin kuat. Ia dapat melemah, dapat pula berbelok sehingga jauh berpaling. Keempat, fitrah merupakan keadaan terbaik yang apabila seseorang sangat dekat dengan fitrah, lebih mudah baginya untuk menerima kebenaran.

Jadi tantangan paling awal mendidik anak adalah menjaga fitrahnya, sebab ia bukan semakin kokoh seiring bertambahnya umur.

Secara lebih khusus, pelajarannya bagi kita ialah, upaya melahirkan anak yang shalih bermula dari saat bertemunya suami-istri saat berhubungan dan kita terus menjaganya setelah anak lahir.

Kata “يُعْرِبَ” menandakan kemampuan anak untuk mengungkapkan perasaan maupun keinginan dengan menggunakan susunan kalimat. Ia mengenali kata sifat, kata kerja maupun kata benda. Meskipun tidak dapat menerangkan mana kata sifat dan mana kata benda, tetapi ia dapat mengungkapkan perasaan maupun gagasan dengan jelas.

Kitalah yang perlu membantu anak sedari belum bisa berbicara agar saat mulai mampu mengucapkan kata, ia menggunakannya dengan baik, akrab pula dengan kata-kata yang baik.

Alangkah banyak orangtua yang memperkenalkan ungkapan-ungkapan awal dengan bebunyian tak bermakna, tetapi membawa suasana yang tak mendekatkan kepada tauhid. Ini misalnya terjadi ketika orangtua menimang dengan memperdengarkan bebunyian dari lisan orangtua, seperti “tak tingtang tingtang tingtung” atau serupa dengan itu. Sering pula orangtua mengakrabkan dengan hal-hal yang tak penting dan menumbuhkan kecintaan terhadapnya.

Anak belum mampu melihat dengan jelas, jarak pandangnya pun belum jauh dan jeli, tetapi saat menenangkan anak justru orangtua mengajak anak penasaran terhadap cicak, “Mana cicaknya? Coba, mana cicaknya?” Tak jarang, lengkap dengan senandungnya. Padahal terhadap cicak, kita tidak disuruh untuk memuliakannya.

Kita juga perlu mengajarkan kepada anak perkataan-perkataan yang memudahkannya mengungkapkan perasaan dan pikiran. Kadang anak rewel lalu mengamuk karena tidak tahu apa yang harus ia lakukan, tidak pula mengenali apa yang sedang ia alami. Padahal jika tahu ia sedang mengantuk misalnya, maka akan lebih mudah baginya untuk menyampaikan kepada orangtua.

Bagaimana dengan marah? Sama. Jika ia dapat mengungkapkan dengan baik, kemarahan lebih mudah kita kenali sehingga dapat diselesaikan tanpa masalah. Sebagai kata sifat, marah itu boleh. Termasuk laki-laki perkasa seseorang yang dapat mengendalikan dirinya ketika sedang marah. Yang buruk itu melampiaskan, baik dengan tindakan fisik maupun lisan. Inilah yang dilarang dalam agama.

Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam melarang kita marah dalam bentuk kata kerja (laa taghdhab) dan mengulangi larangan tersebut sampai tiga kali. Adapun marah sebagai kata sifat, yakni keadaan yang bergemuruh di dalam diri, maka ia tidak masalah. Bahkan ada kalanya merupakan keharusan.

Kembali kepada pembahasan mengenai titik perubahan fitrah yang sangat penting, yakni “حَتَّى يُعْرِبَ عَنْهُ لِسَانُهُ” (sampai lisannya mampu bertutur dengan terang). Pelajaran pentingnya ialah, proses pemerolehan bahasa merupakan hal sangat penting karena ini menentukan bagaimana ia bertutur setelah mampu berbicara dengan terang. Maka, perlu bagi kita memperhatikan kosa-kata serta cara tutur seperti apakah yang bermakna baginya?

Karena itu, kita juga perlu memperhatikan bagaimana menanggapi, memberi umpan balik terhadap ungkapan maupun perkataan anak, baik dari kata yang diucapkan maupun caranya bertutur. Ini sangat penting untuk menjaga agar anak tidak berbelok dari fitrahnya.

*Sumber: majalahhidayatullah.com

5

Red: admin

Editor: iman

840