Siapa Orang Pertama yang Berhaji di Era Kerajaan Nusantara? Ini Penjelasannya

0
279
Jamaah haji sebelum kemerdekaan (foto: dok.kemenag)

PERCIKANIMAN.ID – – Pergi haji menjadi satu ibadah yang sangat diidamkan umat Islam. Menunaikan rukun Islam ke lima menjadi puncak dari semua hasrat menjalankan perintah Allah Subhanahu Wa Ta’ala sebagai bukti ketundukan pada-Nya.

 

Seperti dikutip dari ihram.co.id,  hal ini dibuktikan dengan betapa besar perjuangan jamaah haji sejak dulu hingga sekarang. Mereka melaksanakan panggilan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan berbagai cara.

 

Jika di era modern ini, calon jamaah haji harus berjuang, sabar dan antre hingga puluhan tahun, bahkan beberapa negara seperti Malaysia bisa mencapai lebih dari 100 tahun. Tetapi dahulu kala di era kerajaan Nusantara tidak ada antrean keberangkatan, namun perjalanan yang ditempuh sangat berat dan harus memiliki kondisi fisik yang prima. Hal ini karena perjalanan akan ditempuh selama berbulan-bulan bahkan tahunan dengan membelah lautan dilanjutkan berjalan kaki atau menaiki unta hingga sampai ke Tanah Suci.

 

Di era sekarang, ada Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) yakni lembaga yang melakukan pengelolaan keuangan haji. Pengelolaan keuangan haji bertujuan meningkatkan kualitas penyelenggaraan ibadah haji, rasionalitas dan efisiensi penggunaan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) dan manfaat bagi kemaslahatan umat Islam.

 

Dalam buku berjudul Sejarah Ibadah Haji Indonesia Dari Masa ke Masa yang diterbitkan BPKH, 2023, dijelaskan bahwa sebelum abad 14 Masehi tidak ada catatan atau peninggalan yang menunjukan siapa yang pertama kali berhaji. Umumnya berdasarkan cerita dari mulut ke mulut (folklore).

 

Meski demikian, diperkirakan sejak Islam masuk ke Nusantara serta terjadinya interaksi masyarakat dengan pedagang atau ulama asal Gujarat dan Tanah Arab, sudah ada umat Islam dari Nusantara yang berangkat ibadah haji. Mereka menggunakan kapal dagang atau kapal layar yang singgah di pelabuhan-pelabuhan besar di Nusantara seperti Periak, Aceh.

 

Setelah abad ke-14, mulai terdapat naskah kuno yang menyebutkan cara berziarah yang dilakukan para raja atau bangsawan pada masa lalu. Naskah Tjarita Parahijangan dan Naskah Carita Purwaka Caruban Nagari misalnya.

 

Naskah tersebut menceritakan sosok Bratalegawa, sebagai Muslim pertama di tanah Sunda yang menunaikan ibadah haji. Bratalegawa merupakan putra kedua dari Prabu Pangandipara Marta Jayadewatabrata atau Sang Hyang Bunisora ​​Suradipati penguasa Kerajaan Galuh (1357-1371).

 

Meskipun bergelar pangeran, namun Bratalegawa adalah seorang saudagar yang memiliki jiwa petualang. Hal inilah yang kemudian membawanya berlayar ke berbagai negeri.

 

Bratalegawa mulai mengenal Islam ketika berinteraksi dengan para pedagang Arab di kesultanan Delhi, India. Bratalegawa kemudian mengucapkan dua kalimat Syahadat dan menjadi seorang Muslim yang taat.

 

Bratalegawa menikah dengan seorang wanita dari Gujarat bernama Farhana binti Muhammad. Keduanya lalu melanjutkan perjalanan ke Tanah Suci Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Di Tanah Suci, Bratalegawa mengganti namanya menjadi Haji Baharuddin Al-Jawi. Selanjutnya Bratalegawa dijuluki sebagai Haji Purwa yang berarti awal mula atau terdahulu.

 

Ketika kembali ke Kawali ibu kota Kerajaan Galuh (sekarang Kabupaten Ciamis), sekitar tahun 1337 M, Bratalegawa mencoba mengislamkan kedua saudaranya Gin Dewanti dan Ratu Banawati. Tetapi keduanya menolak akibat masih kuatnya pengaruh Hindu di Kerajaan Galuh.

 

Bratalegawa akhirnya memilih meninggalkan Kawali dan menetap di Caruban Girang (sekarang Kabupaten Cirebon) yang masih wilayah Galuh. Di sana, Haji Purwa menyebarkan ajaran Islam hingga terbentuknya komunitas Muslim pesisir pertama di wilayah Tatar Sunda.

 

Caruban Girang akhirnya berkembang menjadi sebuah kerajaan Islam dengan raja pertama adalah Pangeran Walangsungsang (1460-1479) putra Prabu Siliwangi dan Nyi Subang Larang. Walangsungsang adalah seorang Muslim juga dikenal sebagai Ki Somadullah, Haji Abdullah Iman, Pangeran Cakrabuana, dan Embah Kuwu Sangkan.

 

Pangeran Walangsungsang menyingkir dari pusat kerajaan Padjajaran ke Caruban Girang yang masih wilayah kekuasaan kerajaan Galuh karena tidak suka dengan sikap Prabu Siliwangi terhadap sang ibunda. Bersama kedua adiknya Nyai Mas Rara Santang dan Pangeran Raja Sagara, ia membangun pedukuhan Cirebon (Caruban Nagari) menjadi Kesultanan Cirebon.

 

Pada 1448 M, Walangsungsang dan Rara Santang berlayar ke Makkah. Kedua bangsawan Sunda ini tinggal di Makkah selama tiga bulan, di bawah bimbingan Syekh Bayanullah (saudara laki-laki Syekh Datuk Kahfi). Di bawah bimbingan Syekh Bayanullah, mereka kemudian menunaikan ibadah haji. Selama berada di Makkah, Walungsungsang dan Rara Santang ini juga memperdalam keimanan terhadap Islam.

 

Walangsungsang dan Rara Santang kemudian mengambil nama Arab, yakni Haji Abdullah Iman dan Syarifah Mudaim. Rara Santang menikah dengan seorang amir atau bangsawan setempat bernama Syarif Abdullah.

 

Mereka mempunyai putra bernama Syarif Hidayatullah. Kelak putra dari Rara Santang ini berjuluk Sunan Gunung Jati dan menjadi Raja di Kesultanan Cirebon pada 1479-1568 menggantikan Prabu Walangsungsang yang mengundurkan diri secara sukarela pada tahun 1479.

 

Di masa kepemimpinan Sunan Gunung Jati, Walisongo semakin intensif melakukan syiar Islam di Tanah Jawa khususnya Pasundan. Kesultanan Cirebon semakin maju menjadi sebuah kota dengan pelabuhan besar dan menjadi melting point berbagai budaya dan suku dari mancanegara.

 

Bahkan Laksamana Cheng Ho (Cheng Hwa) tercatat pernah bertandang ke negeri Cirebon. Umat Islam berangkat haji melalui pelabuhan Cirebon, transit di Batavia, Aceh dan Yaman sebelum kemudian tiba di Tanah Suci Makkah.

 

Di era sekarang, pemerintah masing-masing negara berkoordinasi dengan pemerintah atau kerajaan Arab Saudi untuk memfasilitasi perjalanan ibadah haji umat Islam. Di Indonesia sekarang, ada BPKH yang mengelola keuangan haji. Sehingga nilai manfaat dari pengelolaan keuangan haji tersebut dapat meningkatkan kualitas penyelenggaraan ibadah haji.

 

 

BPKH terus berupaya meningkatkan nilai manfaat dari pengelolaan keuangan haji melalui investasi. Tujuannya untuk menjaga keberlanjutan keuangan haji ke depannya. BPKH juga menyampaikan akumulasi nilai manfaat akhir tahun 2023 yakni Rp 14,32 triliun. [ ]

 

5

Red: admin

Editor: iman

904