Hukum Menjual Mas Kawin, Boleh atau Terlarang ? Ini Penjelasan Menurut Islam

0
286
ilustrasi foto: freepik

PERCIKANIMAN.ID – – Ayah Bunda, mahar merupakan salah satu faktor penting dalam akad nikah. Mahar ini biasa juga disebut dengan shadaq atau maskawin dalam bahasa Indonesia. Meski Ayah Bunda sudah menikah namun tidak ada salahnya terkait mahar atau mas kawin perlu diketahui kembali. Apa saja ya? Berikut ini penjelasannya.

 

1.Mahar Menjadi Kewajiban Suami

Seperti dikutip dari islam.nu.or.id, kita bisa melihatnya  pada pemaparan Mustafa al-Khin dan Musthafa al-Bugha, al-Fiqh al-Manhaji ‘ala Madzhab al-Imam al-Syâfi’i (Surabaya: Al-Fithrah, 2000), juz IV, halalaman 75:

 

الصداق هو المال الذي وجب على الزوج دفعه لزوجته بسبب عقد النكاح.

 

Artinya: “Maskawin ialah harta yang wajib diserahkan oleh suami kepada istri dengan sebab akad nikah.”

 

Hukum mahar ini ialah wajib, sebagaimana keterangan lanjutan kitab al-Fiqh al-Manjhaji:

 

الصداق واجب على الزوج بمجرد تمام عقد الزواج، سواء سمي في العقد بمقدار معين من المال: كألف ليرة سورية مثلاُ، أو لم يسمِّ، حتى لو اتفق على نفيه، أو عدم تسميته، فالاتفاق باطل، والمهر لازم.

 

Artinya: “Maskawin hukumnya wajib bagi suami dengan sebab telah sempurnanya akad nikah, dengan kadar harta yang telah ditentukan, seperti 1000 lira Syiria, atau tidak disebutkan, bahkan jika kedua belah pihak sepakat untuk meniadakannya, atau tidak menyebutkannya, maka kesepakatan tersebut batal, dan maskawin tetap wajib”.

 

Dalil pensyariatan mahar, bisa kita simak dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 4:

 

وَآتُواْ النَّسَاء صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً

 

Artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.”

 

Tujuan utama dari kewajiban pemberian mahar ini ialah untuk menunjukkan kesungguhan (shidq) niat suami untuk menikahi istri dan menempatkannya pada derajat yang mulia. Dengan mewajibkan mahar ini, Islam menunjukkan bahwa wanita merupakan makhluk yang patut dihargai dan punya hak untuk memiliki harta.

 

  1. Sunnah Menyebutkan Jumlahnya saat Akad

Selanjutnya, apakah mahar ini perlu disebutkan dalam akad nikah atau tidak, bisa kita temukan jawabannya dalam Syekh Muhammad bin Qasim dalam Fathul Qarib (Surabaya: Kharisma, 2000), hal. 234:

 

[ويستحب تسمية المهر في] عقد [النكاح] … [فإن لم يُسَمَّ] في عقد النكاح مهرٌ [صح العقد]

 

Artinya: “Disunnahkan menyebutkan mahar dalam akad nikah… meskipun jika tidak disebutkan dalam akad, nikah tetap sah.”

 

Lebih lanjut dalam kitab Fathul Qarib dijelaskan bahwa tidak ada nilai minimal dan maksimal dalam mahar. Ketentuan dalam mahar ini ialah segala apa pun yang sah dijadikan sebagai alat tukar. Entah berupa barang ataupun jasa, sah dijadikan maskawin. Tapi mahar disunnahkan tidak kurang dari 10 dirham dan tidak lebih dari 500 dirham. Satu dirham setara dengan 2,975 gram perak.

 

Dengan demikian bisa kita pahami bahwa tidak ada ketentuan minimum tentang mahar, bahkan dalam sebuah hadits Rasulullah pernah menyatakan bahwa sebentuk cincin terbuat dari besi pun bisa menjadi mahar. Dalam keterangan yang lain Rasulullah juga menyinggung bahwa sebaik-baik perempuan adalah yang paling murah maharnya. Hal ini menunjukkan bahwa mahar bukanlah tujuan utama sebuah pernikahan, dan standarisasi nominalnya disesuaikan dengan kondisi masing-masing pihak.

 

Meski demikian, dalam redaksi Fathul Qarib di atas disebutkan bahwa sebaiknya mahar tidak kurang dari 10 dirham, karena harga di bawah itu dianggap terlalu murah bagi seorang perempuan, dan tidak lebih dari 500 dirham, karena jika lebih dari itu akan menunjukkan kearoganan masing-masing pihak.

 

Dari redaksi di atas juga bisa kita pahami bahwa mahar tidak melulu berupa benda yang berharga seperti emas, uang, atau lainnya. Mahar bisa juga berbentuk jasa, seperti jasa mengajari bacaan Al-Qur’an, dan jasa lainnya. (sumber: nu.or.id)

 

  1. Mahar Menjadi Hak Istri

 

Mahar pernikahan 100% menjadi hak istri. Siapa pun tidak memiliki hak terhadap mahar tersebut. Suami Anda, orang tua Anda, apalagi mertua Anda, sama sekali tdk memiliki wewenang terhadap mahar tersebut. Allah Ta’ala berfirman,

 

وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا

 

Berikanlah mahar kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh dengan kerelaan. Namun jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mahar itu dengan kerelaan, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (QS. An Nisa’: 4)

 

Ayat ini dijadikan dalil oleh para ulama bahwa mahar dalam pernikahan sepenuhnya menjadi hak mempelai wanita. Siapa pun orangnya, termasuk orang tua sang istri, tidak memiliki hak sedikit pun untuk mengambil maharnya.

 

Ibn Hazm mengatakan, “Tidak halal bagi ayah seorang gadis, baik masih kecil maupun sudah besar, juga ayah seorang janda dan anggota keluarga lainnya, menggunakan sedikit pun dari mahar putri atau keluarganya. Dan tidak sorang pun yang kami sebutkan di atas, berhak untuk memberikan sebagian mahar itu, tidak kepada suami baik yang telah menceraikan ataupun belum (menceraikan), tidak pula kepada yang lainnya. Siapa yang melakukan demikian, maka itu adalah perbuatan yang salah dan tertolak selamanya.” (Al Muhalla, 9:511).

 

  1. Atas Ijin dan Keridhoan Istri, Mas Kawin Boleh di Jual

Dalam perjalanan rumah tangga tidak selamanya mulus dengan tercukupi segala kebutuhannya secara materi. Ada kalanya kesulitan ekonomi dalam hal ini keuangan suami istri menjadi ujian rumah tangga.

 

Untuk menutup dan memenuhi hal tersebut tidak sedikit pasangan suami istri yang menjual mas kawin untuk kebutuhan darurat, misalnya berobat atau pun modal usaha. Apakah hal ini dibolehkan?

 

Mengutip dari konsultasisyariah.com dijelaskan bahwa jika mempelai wanita mengizinkan kepada suaminya atau orang tuanya dengan penuh kerelaan hatinya maka dibolehkan bagi suami atau orang tua untuk mengambilnya. (Tafsir Ibn Katsir, 2:150).

 

Oleh karena itu, istri memiliki wewenang penuh untuk menggunakan mahar tersebut. Dia bisa menjualnya, menyimpannya, atau memberikannya kepada orang lain. Dan tidak boleh ada seorang pun yang menghalanginya, karena itu murni hak istri.

 

Dengan demikian mas kawin boleh dijual oleh suami atau keluarga atau oleh istri sendiri. Namun dengan syarat harus seijin dan keridhoan istri. Suami atau orangtua atau siapa pun tidak memaksa atau mengambil secara paksa mas kawin tersebut. [sumber: konsultasisyariah.com ]

5

Red: admin

Editor: iman

904