Dewan Pakar ICMI: Alasan tak Memberhentikan Ahok Mengada-ada

0
363

PERCIKANIMAN.ID – – Dewan Pakar ICMI, Anton Tabah Digdoyo mengatakan, menurut Pasal 83 UU No 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah, pemerintah malalui presiden bisa memberhentikan sementara Gubernur atau Wagub yang berstatus terdakwa. Namun, pemerintah dinilai masih mempertahankan pendapatnya untuk tidak memberhentikan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai gubernur DKI.

“Dan (Pasal 83) itu sudah berjalan sejak UU diundangkan, tak satupun gubernur dan wagub yang berstatus terdakwa lolos dari pasal tersebut,” ungkapnya seperti dilansir Republika.co.id, Kamis (23/2/2017).

Menurut mantan petinggi Polri yang juga pernah berkali-kali menangani kasus penistaan agama di Indonesia, perintah UU-nya, kepala daerah yang sudah menjadi terdakwa bisa langsung diberhentikan sementara sampai ada kekuatan hukum tetap. “Namun terhadap Ahok presiden bersikap lain, selalu menunda-nunda sejak status tersangka yang mestinya ditahan pun tidak ditahan,” ujarnya.

Anton menilai, alasan yang disampaikan pemerintah tidak memberhentikan Ahok mengada-ngada, salah satunya menunggu fatwa MA. Tapi, kata Anton, begitu fatwa MA turun, pemerintah, baik presiden dan juga menterinya seakan menutup-nutupi dengan tidak menyampaikan bahwa MA tidak mengeluarkan fatwa kerena sidang Ahok sedang berlangsung.

“Lalu Mendagri pasang badan tidak memberhentikan sementara Ahok, siap mengundurkan diri dari Mendagri,” katanya.

Menurut Anton, kasus Ahok ini sangat mudah dan sangat sederhana jika melihat kasus serupa yang sudah banyak terjadi di Indonesia. Dengan adanya UU penodaan/penistaan agama semua pelakunya dihukum berat, ditahan, diproses, dan dipenjara.

“Kenapa kasus Ahok jadi aneh? Kerena dibela mati-matian oleh penguasa. Kenapa penguasa membela? Tanya saja pada mereka,” katanya.

Anggota Dewan Pakar ICMI Jend (purn) Anton Tabah
Anggota Dewan Pakar ICMI Jend (purn) Anton Tabah

Anton menuturkan, kasus Ahok tidak perlu meminta fatwa baru MA. Sebab, sudah ada fatwa MA tahu 1984 agar semua pelaku penista agama dihukum seberat-beratnya, karena termasuk kejahatan yang derajat keresahan masyarakat sangat tinggi.

“Maka Arswendo dan lain-lai pun dihukum maksimal 5 tahun penjara. Kenapa Ahok diistimewakan padahal azas hukum itu kesamaan, keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum juga harus wajib dijaga ditegakkan,” katanya.

Anton mengatakan, pemberhetian sementara Ahok memang menjadi tugas dan wewenang presiden, bukan tugas dan wewenang Mendagri. Karena itu, ia memepertanyakan Mendagri yang pasang badan dan siap dicopot jika salah putusan.

“Ya jelas salah, wong bukan wewenang dia kok putuskan. Dan ya tak mungkin dicopot, yang nyopot menteri kan presiden, saya sebagai mantan pejabat tahulah psikobirokrasi. Mendagri pasang badan itu pasti sudah kongkalikong dengan presiden dan presiden tak akan nyopot Mendagri. Anak balita saja tahulah,” katanya.

Menurut Anton, rakyat sekarang bukan minta pemberhentian Ahok lagi, tapi menuntut pemberhentian Ahok secepatnya dan nunutut agar presiden Jokowi taat aturan dan taat hukum. “Jangan ngakali aturan, jangan mlintir hukum. Ingat, kekuasaan ini cuma sebentar. Kalau rakyat sudah nuntut, itu kesabarannya sudah di tapal batas, kalau batas itu jebol, tak ada kekuatan apapun yang bisa membendungnya,” katanya. [ ]

Red: admin

Editor: iman

Foto: antara