Pengamat Nilai Pemblokiran Situs Islam Sebagai Kemunduran Demokrasi

0
454

PERCIKANIMAN.ID – – Sejumlah situs media-media Islam kembali diblokir oleh Kementrian Kominfo dengan berbagai alasan yang tidak dijelaskan ke publik. Menanggapi hal ini  Direktur Centre for Strategic and Policy Studies (CSPS), Prijanto Rabbani mengatakan, pemblokiran sejumlah situs-media Islam merupakan upaya pembungkaman, sekaligus mencerminkan kemunduran demokrasi.

“Fenomena ini menandai babak baru bagi kemunduran demokrasi di Indonesia,” ujarnya seperti dikutip dari hidayatullah.com, Selasa (03/01/2017).

Menurutnya, pemblokiran situs-media Islam yang dilakukan pemerintah menjadi kado menyakitkan bagi umat Islam di awal tahun 2017. Mengutip sebuah artikel, ia menjelaskan, salah satu kelemahan sistem presidensial adalah munculnya personalisasi kekuasaan eksekutif.

“Akibat praktik politik seperti itu, si penguasa jadi anti kritik. Mengkritik dia, dianggap mengkritik negara,” paparnya.

Padahal, sambung Prijanto, gerakan reformasi adalah koreksi total atas praktik-praktik personalisasi yang dilakukan Orde Baru. Karenanya, ia menungkapkan, sebaiknya pemerintah tak perlu paranoid dengan aksi kritis, yang dilakukan di dunia nyata maupun di dunia maya.

“Kritik bila disikapi positif justru menguntungkan dan dapat memberi energi positif, berani mengoreksi diri,” pungkasnya

Sementara itu Anggota Majelis Pustaka dan Informasi (MPI) PP Muhammadiyah, Mustofa B. Nahrawardaya menyoroti pemblokiran pejumlah situs media Islam oleh pemerintah baru-baru ini sebagai cara yang terkesan otoriter.

“Memblokir situs tertentu, apalagi dengan cara otoriter berdasar laporan pembaca tanpa klarifikasi ke pengelola, jelas sebuah langkah mundur. Bisa dibilang, ini langkah yang dilandasi oleh sistem pemalas,” ujarnya.

Mustofa menilai, masyarakat silakan saja membuat daftar situs-situs yang dianggap radikal. Tapi bukan berarti langkah itu dilakukan hanya demi menyelamatkan kepentingan sesaat.

“Jangan kemudian, hasil dari penutupan situs, ternyata memyebabkan masyarakat jadi buta informasi cover both side (keberimbangan. Red). Masyarakat perlu berita berimbang. Bukan berita hasil sumbangan. Bukan berita hasil fakta rekaan,” cetusnya.

Berita itu, jelasnya, seharusnya ‘murni’ fakta. Lalu media menangkap fakta untuk disampaikan kepada pembacanya.

“Bayangkan jika sebuah peristiwa adalah fakta rekaan, lalu ditelan mentah-mentah pembaca, jelas ini akan menyesatkan,” ungkapnya.

Maka media atau situs Islam seharusnya menjadi pelopor penyampai kebenaran sebuah fakta. Bukan penyampai fakta saja. “Karena fakta ternyata bisa dibuat,” tandas Koordinator Indonesian Crime Analyst Forum (ICAF) ini.

 

Perlunya Definisi Jelas soal ‘Media Radikal’

Selain itu, Mustofa menilai, perlu dibuat mekanisme dan penjelasan soal istilah ‘media radikal’.

“Tidak sulit mengenali sebuah media itu, sebagai media radikal atau bukan. Persoalannya, radikal bagi siapa? Kalau radikal bagi pembaca, maka akan muncul ribuan tafsir,” ungkapnya mempertanyakan. [ ]

 

Red: admin

Editor: iman

Ilustrasi foto: pixabay