Keshalihan Sosial Sebagai Wujud Ketakwaan

0
632

 

Oleh:H. Nanang Hidayat*

 

PERCIKANIMAN.ID – – Kata habluminallah dan habluminannas adalah dua kata yang hampir selalu bergandengan, semua ibadah vertikal mengandung unsur horizontal, atau dengan kata lain habluminallah mengandung unsur habluminannas, terutama dilihat dari efek keberhasilannya. Contohnya adalah ibadah shalat yang secara ruhani adalah ibadah habluminallah, namun dalam pelaksanaannnya khususnya shalat wajib sesuai dengan perintah Allah Subhanahu wa ta’ala dan Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam dilakukan dengan berjamaah atau adanya kebersamaan dengan orang lain.Hal ini mengacu pada firman Allah Subhanahu wa ta’ala:

 

 

(43). وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ

Tegakkan shalat, tunaikan zakat, dan rukuklah bersama orang-orang yang rukuk” (QS.Al Baqarah:43)

 

Secara kualitas tentu akan berbeda seseorang yang hanya mengerjakan shalat namun tidak berbuat kebaikan kepada orang tua, saudara atau tetangganya, dengan orang yang mengerjakan shalat kemudian ia berbuat kebaikan kepada sesamanya. Demikian juga ibadah puasa yang dianjurkan untuk berbagi, bahwa orang yang memberi makanan untuk berbuka puasa akan mendapatkan pahala sebesar pahala dari orang yang berpuasa. Tentu berbeda dengan yang hanya melakukan puasa tidak melakukan sabda Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam tersebut.

 

Selain itu salah satu bentuk ibadah sosial adalah dengan menunaikan zakat,infaq dan sedekah (ZIS) Ibadah zakat yang sudah pasti disamping memenuhi perintah Allah Subhanahu wa ta’ala, dampaknya langsung juga terasa oleh mustahik (penerima zakat) maupun bagi muzaki (orang yang berzakat). Bagi mustahik ia akan terpenuhi sebagian dari kebutuhan materinya sementara bagi muzaki,hartanya akan menjadi bersih dan memperoleh ketenangan,kedamaian serta keberkahan. ZIS dan wakaf adalah satu satu potensi ekonomi yang fenomenal bagi ummat Islam.

 

Seseorang yang hanya shalih secara individu akan berbeda dengan yang shalih secara individu sekaligus shalih secara social. Shalih secara individu tapi tidak shalih secara sosial bisa dikatakan tidak atau kurang lengkap keshalihannya, karena nilai-nilai keislaman khususnya rasa kepeduliannya  belum terasa dalam kehidupan keseharian bermasyarakat sebagai bagian dari rahmatan lil’alamin.

 

Takwa dan Kemabruran Ibadah.

 

Setiap Muslim selalu berharap ibadahnya mabrur yaitu diterima Allah Subhanahu wa ta’ala. Kemabruran dari suatu ibadah syar’i antara lain tergambar dari peri kehidupan keseharian yang jauh lebih positif, baik dari sisi peribadahannya yang merupakan gambaran keshalihan pribadi, dan juga amalan yang dampaknya terasa dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Sering firman Allah Subhanahu wa ta’aladiakhiri dengan redaksi “agar menjadi orang yang bertakwa”. Takwa dalam arti menjalankan semua perintah-Nya dan menghindari semua larangan-Nya sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah Saw  yang harus jadi bekal sekaligus jadi hasil di dunia dari semua ibadah. Al Qur’an banyak menyampaikan tentang ketakwaan serta tanda-tandanya, antara lain tercantum dalam firman-Nya:

(133). وَسَارِعُوا إِلَىٰ مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

 

(134). الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

 

(135).وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَىٰ مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ

 

Bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan dapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang bertakwa, yaitu orang yang berinfak, baik pada waktu lapang maupun sempit, serta orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan kesalah¬an orang lain. Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan. Orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau men-zalimi diri sendiri, mereka segera mengingat Allah, lalu memohon ampunan atas dosa mereka. Siapa yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allah? Mereka tidak meneruskan perbuatan dosa itu dengan penuh kesadaran”. (QS. ‘Ali-Imraan: 133-135).

 

Dalam ayat tersebut difirmankan ciri-ciri orang takwa yaitu yang menafkahkan hartanya baik dalam keadaan lapang atas sempit, yang menahan amarahnya  yang memaafkan kesalahan, yang berbuat kebaikan  yang senantiasa bertobat atas dosa-dosanya. Inilah bentuk keshalihan individu yaitu sangat erat hubungannya dengan keshalihan sosial, dalam arti bahwa seseorang yang bertakwa sesuai dengan firman Allah tersebut, maka masyarakat akan mendapatkan pengaruh positif dari interaksi kehidupan dengan orang yang bertakwa.

 

Namun fakta berbicara lain,sebagi suatu renungan kita lihat gejala yang terjadi saat ini, kondisi yang berlawanan dengan ciri-ciri orang yang bertakwa. Kehidupan kini menunjukkan adanya kebatilan dan kezaliman yang terstruktur yang beranak pinak menjadi kehidupan yang mengarah pada materialisme dan individualistis, kurang kepedulian terhadap sesama insan dan lingkungan, mudah marah dan melakukan pengrusakan, sangat sulit untuk memberikan maaf atas kesalahan orang lain, tidak tampak upaya bertobat untuk kezaliman dan kebatilan yang dilakukan. Hal-hal tersebut terjadi baik di kalangan bawah ataupun kalangan elit pimpinan, rakyat kebanyakan ataupun kaum berpendidikan.

 

Apa yang bisa diperbuat.

 

Islam diturunkan untuk kebaikan manusia lewat ajaran syariah-Nya.  Umat Islam hanya dibolehkan marah terhadap kebatinan, kezaliman dan semua hal yang dibenci Allah Subhanahu wa ta’ala, serta berusaha untuk mengoreksinya, dan itupun bisa berbagai tingkatan sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam bahwa jika menjumpai kebatilan maka luruskan dengan tanganmu hal ini berkaitan dengan otorisasi yang dimiliki, kalau tidak bisa maka dengan perkataan berbentuk nasihat dari akhlinya, atau kalau tidak kuasa maka luruskan lewat hatimu yaitu tidak menyetujui kebatilan tersebut.

 

Contoh amarah yang terkendali pernah ditunjukkan Ali bin Abi Thalib yang pada suatu lawan tanding telah siap membunuh seorang kafir yang sudah tidak berdaya, namun batal membunuhnya karena musuhnya meludahi beliau, dan ketika ditanyakan oleh sahabat lain kenapa batal membunuhnya, maka Ali bin Abi Thalib berkata,

 

Waktu diludahi aku sangat marah, dan aku tidak mau berperang atas dasar kemarahan pribadi, tapi berperang semata-mata membela agama Allah Ta’ala“.

 

Ciri orang bertakwa yang dampaknya berpengaruh terhadap kehidupan orang yang kurang mampu adalah menafkahkan sebagian dari hartanya, baik dalam keadaan lapang ataupun sempit. Begitu banyak orang berharta (aghniya) yang kehidupan sosial ekonominya berlebih, namun di sisi lain secara faktual masih banyak yang kurang beruntung. Jadi agar ketakwaan meningkat, upayanya adalah dengan membantu kaum dhuafa, fakir, miskin, anak yatim termasuk anak jalanan, agar kehidupan mereka bisa lebih baik.

 

 

Walau secara yuridis kewajiban untuk mengentaskan kehidupan mereka terletak di pundak pemerintah, namun akan menjadi suatu perbuatan terpuji baik dari sisi keagamaan dan juga dari sisi sosial kemasyarakatan jika para aghniya berkontribusi, karena kaum kurang mampu ini butuh pemenuhan hak-hak dasar hidupnya seperti pangan, sandang, papan, pendidikan dan kesehatan.

 

Upaya meredam kebatilan dan kezaliman bisa dimulai dari diri sendiri dengan cara hidup yang tidak materialistis dan egoistis atau individualistis, bersikap jujur, tidak mengumbar amarah yang tidak perlu, bisa memaafkan dan memupuk rasa kebersamaan, berbagi atas kelebihan yang dimiliki, baik tenaga, fikiran dan juga harta.Berbagi harta adalah suatu amalan yang sangat dianjurkan dan mempunyai nilai jihad untuk menegakkan syiar Islam, dan seyogyanya jadi perhatian serius para aghniya untuk melaksanakannya, apalagi jika dihubungkan dengan firman Allah Subhanahu wa ta’ala:

 

(19). وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ

Mereka menyisihkan sebagian hartanya untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak meminta” (QS. Adz-Dzariyat: 19)

 

Dalam beberapa fenomena ada beberapa orang dari kalangan tidak mampu (dhuafa) yang tidak menunjukkan kedhuafaannya. Ia tidak meminta-minta dan mengajukan sumbangan, bahkan ada beberapa dhuafa yang enggan menerima pemberian dari orang lain karena merasa ada yang lebih berhak menerimanya. Ia mempunyai harga diri yang patut diapresiasi. Namun bagi muzaki yang cerdas pasti mempunyai solusi untuk tetap peduli. Jika kita bisa melaksanakannya, maka ketakwaan kita dapat berdampak terhadap kehidupan sosial kaum yang kurang beruntung. In syaa Allah. Wallahu’alam. [ ]

 

*Penulis mantan Direktur LAZIS Zakatel Citra Caraka dan pegiat sosial.

 

5

Red: admin

Editor: iman

930