Sejarah, Kiprah MUI dan Fatwa yang Dihasilkan

0
609
Kantor MUI Pusat ( foto: mui)

PERCIKANIMAN.ID – – Kiprah Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai lembaga yang menghasilkan fatwa-fatwa di Indonesia sudah ada sejak zaman Orde Baru. MUI adalah wadah musyawarah untuk para ulama, zu’ama, dan cendekiawan Muslim untuk membimbing, membina, dan mengayomi umat Islam di Indonesia.

 

 

MUI berdiri dari hasil pertemuan atau meusyawarah para ulama, cendekiawan, dan zu’ama yang datang dari seluruh Indonesia. Ada 26 orang ulama yang mewakili 26 provinsi yang terdiri dari sepuluh ulama dari organisasi masyarakat (ormas) Islam tingkat pusat, yaitu NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, dan Perti. Empat orang ulama lain berasal dari Dinas Rohani Islam, Angkatan Darat, Angkatan Udara, Angkatan Laut, dan Polri, serta 13 orang merupakan tokoh perorangan.

 

 

Berdirinya MUI tercantum dalam sebuah Piagam Berdirinya MUI yang ditandatangani oleh seluruh peserta musyawarah yang disebut Musyawarah Nasional Ulama I. Momentum berdirinya MUI bertepatan ketika bangsa Indonesia tengah berada pada fase kebangkitan, yaitu 26 Juli 1975 di Jakarta.

 

 

Sejarawan M.C. Ricklefs mengatakan dalam bukunya Mengislamkan Jawa, di zaman Orde Baru telah dibentuk institusi untuk mengontrol dan mengarahkan Islam, salah satunya adalah MUI. Saat itu, MUI berfungsi sebagai wahana bagi pemerintah untuk mengarahkan Islam. Inilah yang menjadi stigma pada MUI.

 

 

Setelah kejatuhan Presiden Soeharto, MUI menjadi wadah untuk memperjuangkan kepentingan Islam. Prof. Dr. Hamka yang menjadi ketua pertama menerima sejumlah kritikan dan gagasan. Namun, ia mengundurkan diri pada tahun 1981 sebagai protes terhadap kurang independennya MUI di depan pemerintah.

 

 

Dalam perjalanannya, MUI berusaha untuk membimbing umat Islam dalam mewujudkan kehidupan beragama dan bermasyarakat, memberikan nasihat dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan, meningkatkan kegiatan bagi terwujudnya ukhwah Islamiyah dan kerukunan antar umat beragama, dan menjadi penghubung antara ulama dan pemerintah guna mensukseskan pembangunan nasional.

 

Daftar Ketua MUI

 

Dilansir situs web MUI, Rabu (17/11/2021), sampai saat ini MUI mengalami beberapa kali musyawarah nasional dan pergantian ketua umum, yaitu:

 

Pertama: 1977 – 1981 Prof. Dr. Hamka

 

Kedua: 1981 – 1983 KH. Syukri Ghozali

 

Ketiga: 1985 – 1998 KH. Hasan Basri

 

Keempat: 1998 – 2000 Prof. KH. Ali Yafie

 

Kelima: 2000 – 2014 KH. M. Sahal Mahfudz

 

Keenam: 2014 – 2015 Prof. Dr. HM. Din Syamsuddin

 

Ketujuah: 2015 – 2020 Prof. Dr. KH. Ma`ruf Amin

 

Kedelapan: 2020 – Sekarang KH. Miftachul Akhyar

 

Ketua Umum MUI yang pertama, kedua, ketiga, dan kelima telah meninggal dunia dan mengakhiri tugas-tugasnya. Sedangkan yang keempat dan dua yang terakhir masih terus berkhidmah untuk memimpin majelis para ulama ini.

 

Fatwa-fatwa MUI

 

Selama 46 tahun berdiri, ada banyak fatwa-fatwa yang dihasilkan MUI. Salah satunya yang terbaru adalah penetapan penggunaan cryptocurrency (mata uang kripto) yang hukumnya haram.

 

Mata uang kripto dinilai mengandung gharar, dharar, dan bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2011 dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 17 tahun 2015.

 

Cryptocurrency sebagai komoditi atau aset digital tidak sah diperjualbelikan karena mengandung gharar, dharar, qimar, dan tidak memenuhi syarat sil\’ah secara syar’i (ada wujud fisik, memiliki nilai, diketahui jumlahnya secara pasti, hak milik, dan bisa diserahkan ke pembeli),” kata Ketua MUI Bidang Fatwa KH Asrorun Niam Sholeh saat konferensi pers pada penutupan ijtima ulama di Jakarta, Kamis (11/11/2021).

 

Fatwa lain yang dikeluarkan MUI adalah hukum vaksinasi Covid-19 saat berpuasa. Dalam Fatwa Nomor 13 Tahun 2021 dijelaskan MUI menetapkan vaksinasi Covid-19 yang dilakukan dengan injeksi intramuskular tidak membatalkan puasa.

 

Vaksinasi adalah proses pemberian vaksin dengan cara disuntikkan atau diteteskan ke dalam mulut untuk meningkatkan produksi antibodi guna menangkal penyakit tertentu. Injeksi intramuskular adalah injeksi yang dilakukan dengan cara menyuntikkan obat atau vaksin melalui otot.

 

“Ketentuan hukumnya, vaksinasi Covid-19 yang dilakukan dengan injeksi intramuskular tidak membatalkan puasa,” kata Kiai Asrorun Selasa (16/3/2021).

 

Terakhir, ada penetapan hukum vaksin AstraZeneca. Meskipun memiliki unsur babi, vaksin tersebut boleh digunakan dalam kondisi tertentu. Komisi Fatwa MUI menyatakan vaksin astraZeneca hukumnya haram tetapi boleh digunakan untuk beberapa alas an kedaruratan. [ ]

Sumber: ihram.co.id

5

Red: admin

Editor: iman

900