Cara Rukyah Sesuai Islam, Begini Yang Diajarkan Syariat

0
775

Oleh: Tate Qomaruddin*

 

PERCIKANIMAN.ID – – “Dipampangkan kepadaku umat-umat. Lalu aku melihat seorang nabi dan bersamanya sekelompok kecil orang (kurang dari sepuluh), ada nabi yang diiringi satu atau dua orang, dan ada lagi nabi yang tidak diiringi seorang pun. Kemudian diangkat (diperlihatkan) kepadaku sekelompok besar manusia yang aku sangka mereka adalah umatku. Lalu dikatakan kepadaku, ‘Itu Musa dan kaumnya. Akan tetapi lihatlah ke ufuk.’ Maka aku melihat (ke ufuk) ternyata di sana ada sekelompok besar manusia. Dan dikatakan lagi kepadaku, ‘Lihatlah ke ufuk lain.’ Ternyata di sana ada sekelompok besar manusia dan dikatakan bahwa itu adalah umatku. Dan bersama mereka ada 70 ribu orang yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa adzab.” Maka Rasulullah Saw. bangkit seraya masuk ke rumahnya. Ributlah orang-orang memperdebatkan tentang 70 ribu orang yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa adzab. Sebagian mereka mengatakan, “Mungkin mereka adalah yang menyertai (para sahabat) Rasulullah Saw.’ Sebagian mereka mengatakan, “Mungkin mereka yang dilahirkan dalam Islam sehingga mereka tidak pernah melakukan kemusyrikan kepada Allah.” Dan mereka menyebutkan hal-hal lain. Maka keluarlah Rasulullah Saw. kepada mereka seraya bertanya, “Apa yang kalian perdebatkan?” Mereka menyampaikan kepadanya. Maka Rasulullah Saw. bersabda, “Mereka adalah orang-orang yang tidak pernah meruqyah, orang-orang yang tidak meminta diruqyah, tidak meramal nasib, dan kepada Rabb mereka bertawakal.” Berkatalah Ukkasyah, “Ya Rasulullah, berdoalah kepada Allah agar aku termasuk di dalamnya.” Rasulullah Saw. menjawab, “Engkau termasuk di dalamnya.” Lalu berdirilah seseorang dan mengatakan,“Ya Rasulullah, doakanlah aku agar menjadi bagian dari mereka.” Rasulullah bersabda, “Ukasyah telah mendahuluimu.” (H.R. Muslim)

 

Masuk surga adalah dambaan setiap orang beriman dan masuk surga tanpa hisab dan adzab adalah karunia istimewa yang Allah berikan kepada orang-orang khusus. Siapakah mereka? Hadits di atas menyebutkan bahwa orang yang akan masuk surga tanpa hisab antara lain adalah orang yang tidak melakukan ruqyah.

 

Tentu saja, hal itu berlaku setelah persyaratan utama terpenuhi yakni beriman kepada Allah, melaksanakan segala perintah-Nya, dan menjauhi segala larangan-Nya.

 

Secara naluriah, manusia selalu ingin terhindar dari segala yang mengganggu dan menakutkan atau melepaskan diri dari segala penyakit dan berbagai hal lain yang tidak mengenakkan. Manusia juga selalu akan berlindung atau minta perlindungan kepada sesuatu di luar dirinya yang diyakini mempunyai kekuatan.

Salah satu bentuk yang sejak zaman dahulu kala digunakan oleh manusia untuk menjauhkan segala yang tidak diinginkan (baik penyakit maupun bentuk gangguan lainnya) adalah jampi-jampi atau ruqyah.

Para ulama menjelaskan, ruqyah adalah kalimat-kalimat atau bacaan-bacaan yang diucapkan untuk mencari perlindungan dari sesuatu yang ditakuti atau meminta kesembuhan dari penyakit. Sebagian masyarakat menyebutnya jampi-jampi. Ruqyah pada dasarnya bisa dilakukan oleh seseorang untuk dirinya maupun untuk orang lain.

 

Untuk menjaga kemurnian tauhid dan terhindar dari kemusyrikan, maka Rasulullah Saw. mengawal segala keinginan dan keyakinan manusia itu. Oleh karenanya, Rasulullah Saw. menjelaskan hukum asal ruqyah adalah haram dan termasuk perbuatan syirik. Hal ini disabadakannya dalam hadits berikut.

 

Sesungguhnya ruqyah-ruqyah, jimat-jimat, dan pelet adalah syirik.” (H.R. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Al-Hakim).

 

Seiring berjalannya waktu, Rasulullah Saw. kemudian memberikan rukhshah atau dispensasi dalam melakukan ruqyah terhadap beberapa hal. Dalam hadits yang disampaikan oleh Anas Bin Malik disebutkan.

Rasulullah Saw. memberikan dispensi (rukhsah) dalam ruqyah dari ain, humah, dan namlah.” (H.R. Muslim).

Ain adalah penyakit atau pengaruh yang terjadi pada seseorang akibat tatapan mata seseorang yang menggunakan sihir. Humah adalah luka atau rasa sakit akibat bisa (racun). Sedangkan namlah adalah luka-luka yang keluar di bagian samping tubuh manusia.

Dispensasi atau pengecualian yang diberikan Rasulullah Saw. tersebut menunjukkan bahwa ruqyah secara umum adalah dilarang. Bahkan Rasulullah Saw. menyebutkan bahwa di antara orang yang akan masuk surga tanpa hisab adalah orang-orang yang tidak pernah me-ruqyah dan tidak pernah minta di-ruqyah, sebagaimana disebutkan dalam hadits di atas.

Menjelaskan hadits tersebut di atas, Syaikh Shalih bin Abdul-Aziz bin Muhammad bin Ibrahim menulis, “Laa yastarqun” yang artinya tidak meminta di-ruqyah. Ini dikarenakan orang yang meminta di-ruqyah hatinya cenderung kepada yang me-ruqyah hingga ia dapat menghilangkan sebab-sebab (penyakit) yang ada pada dirinya.

Saat seseorang di-ruqyah, hatinya akan sangat tergantung kepada ruqyah melebihi ketergantungan kepada kedokteran dan sejenisnya. Orang-orang Arab di masa jahiliyyah (demikian pula keadaan kebanyakan manusia) memliki ketergantungan kepada ruqyah dan kepada orang yang melakukan ruqyah. Dan ini menafikan kesempurnaan tawakal kepada Allah. (At-Tamhid Lisyarhi Kitabit-Tauhid)

Auf bin Malik mengatakan, “Kami biasa melakukan ruqyah di masa jahiliyah. Lalu kami bertanya, ‘Ya Rasulullah bagaimana engkau memandang hal itu?’ Rasulullah menjawab, ‘Pertunjukkanlah padaku ruqyah-ruqyah kalian. Tidak mengapa dengan ruqyah selama bukan kemusyrikan.’” (H.R. Ath-Thabrani, Ibnu Majah, dan Al-Baihaqi)

Lalu, ruqyah seperti apa yang dibenarkan menurut Al-Quran dan sunah? Ruqyah yang dibenarkan adalah yang memenuhi syarat-syarat berikut ini.

 

  1. Berupa firman Allah, nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, atau dengan doa-doa yang diajarkan Rasulullah Saw.
  2. Menggunakan bahasa Arab.
  3. Kalimat-kalimatnya mempunyai makna dan dapat dipahami.
  4. Tidak mengandung sesuatu yang tidak diperkenankan dalam akidah Islam seperti meminta kepada jin, meminta kepada malaikat, menyeru kepada orang yang sudah meninggal.
  5. Lafaz ruqyah itu sendiri tidak menjadi sandaran kekuatan. Sandaran tetap ditujukan kepada Allah Swt.
  6. Yang melakukan ruqyah tetap meyakini bahwa segala sesuatu berubah hanya dengan izin Allah dan bukan oleh kalimat-kalimat ruqyah-nya.

Tentu saja, setan tidak akan tinggal diam manakala kita ingin menapaki sunah Rasulullah Saw., dan membersihkan akidah dari berbagai kemusyrikan. Karenanya, kita harus mewaspadai penyimpangan-penyimpangan yang mungkin terjadi dalam melaksanakan ruqyah syariyah sekalipun.

Beberapa celah yang kerap disimpangkan dalam ruqyah adalah pertama, ketergantungan seseorang pada bacaan orang tertentu (yang dikenal sebagai ahli ruqyah) dan merasa tidak afdol atau menganggap kurang berkhasiat jika yang membacakan ayat-ayat ruqyah adalah orang lain. Hal tersebut membuat sebagian orang sampai merekam (dikasetkan) dan menjual secara khusus ayat-ayat ruqyah tersebut.

Jika ada orang yang memahami bahwa ayat-ayat dalam kaset tersebut mempunyai khasiat lebih dari bacaan lainnya, maka itu merupakan kemusyrikan. Bila orang yang suaranya direkam dalam kaset tersebut merasa bacaannya paling ampuh dan berbeda dengan bacaan orang lain, maka ini pun merupakan kemusyrikan plus kesombogan.

Kedua, melakukan ruqyah dengan melakukan gerakan-gerakan tertentu yang entah diajarkan atau tidak oleh Rasulullah Saw. Dan yang ketiga, sebagian orang ada yang selalu mengaitkan apa yang terjadi pada dirinya dan lingkungannya dengan kekuatan jin. Seolah-olah jin punya kekuatan yang tidak terbatas dan bisa mempengaruhi manusia tanpa batas. Sampai-sampai ketika ada ranting jatuh di halaman belakang rumahnya, ia mengaitkan hal itu dengan jin atau dianggap sebagai pekerjaan jin. Jika ruqyah diyakini dapat menjauhkan orang beriman dari gangguan jin-jin jahat, maka praktiknya janganlah sampai membuat orang lupa bahwa di alam ini ada sunnatullah. Wallahu a’lam. [ ]

*Penulis adalah pegiat dakwah dan penulis buku

Tate Qomaruddin

5

Red: admin

Editor: iman

934