Peran Ulama dan Krisis Kebangsaan

0
384

 

 Oleh: Ahmad Kholili Hasib*

 

 

PERCIKANIMAN.ID – – Menjelang pergantian tahun 2016 kemarin  Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Bukittinggi menyiapkan kegiatan spesial. Bukan untuk berpesta menyambut tahun baru, tetapi turun lapangan untuk mengantisipasi terjadinya perbuatan maksiat yang dilakukan muda-mudi di malam tahun baru.

Sekitar 150 relawan dari berbagai ormas Islam di bawah payung MUI menemui pasangan muda-mudi di tempat-tempat tertentu yang sedang marayakan tahun baru masehi. Para ulama beserta aktivis ormas Islam itu mengajak mereka bicara, berdialog serta mengajak untuk meninggalkan perbuatan maksiat.

MUI di beberapa daerah seperti MUI Lampung, MUI Aceh, MUI Padang dan MUI provinsi lainnya juga melakukan langkah antisipasi masing-masing.

Langkah nyata para ulama tersebut patut digugu lan ditiru (dicontoh dan ditiru). Betapa tidak, para ulama langsung turun ke jalan. Dakwah konkrit dan praktis. Mereka tidak hanya menyeru di mimbar khutbah, tetapi langsung jalan memperbaiki akhlak bangsa.

Pesta hura-hura tahun baru tidak membawa manfaat apapun. Justru kerusakan demi kerusakan terjadi. Di mana suara keprihatinan aparatur? Alih-alih prihatin, malah memberi jalan. Para ulama pantas marah atas krisis ini. Tetapi kemarahan ulama disulap dalam bentuk aksi yang luar biasa. Memang harusnya membuat laporan kepada aparatur negara. Namun apa daya, nampak masih banyak menganggap enteng atas apa yang terjadi pada bangsa ini.

Siapa yang tidak tahu bahwa pesta tahun baru biasa menjadi ajang maksiat dan perzinahan. Tiap tahun media-media besar memberitakan. Di Makassar, sebagai salah satu contoh, menjelang pergantian tahun penjualan kondom meningkat 40-100 %. Menurut salah satu penjual, tingkat permintaan kondom mencapai 40 % di kalangan pelajar dan tak sungkan para pelajar yang mengenakan seragam sekolah juga hendak membeli kondom tersebut.

Siapa yang mencegah para muda-mudi tersebut untuk tidak berbuat zina? Orangtua mereka kemungkinan tidak tahu. Polisi hanya mengamankan situasi agar tidak terjadi tawuran atau semacamnya. Bisakah polisi mencegah mereka tidak berzina? Di mana satpol PP?

Ketika para aparat absen, ulama datang. Ulama membantu pemerintah mencegah terjadinya kejahatan seksual. Tingkat perzinahan atau seks di luar nikah anak-anak muda penulis kira semua banyak yang mengetahui. Dari hasil riset sampai penulusuran jurnalis yang telah banyak di muat di media.

Ini negeri yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Tapi kejahatan zina masih saja marak. Di mana bangsa ini meletakkan sila ke-1 Pancasila itu? Lagi-lagi ulama mengawal Pancasila. ‘Memeluk’ rakyat bawah untuk tunduk kepada Tuhan. Di sinilah, kita bersyukur ada program MUI yang responsif terhadap kerusakan bangsa ini. Kita untung ada ulama yang rela turun ke jalan menemui mereka, menasihati dan mengajak pulang ke rumah masing-masing.

Peran-peran tersebut di negara ini sebetulnya tidak hanya tugas ulama (MUI). Satpol PP, atau kepolisian harusnya bisa mencegah kemaksiatan itu. Tetapi, di negeri ini yang sudah banyak kasus-kasus kejahatan, maka MUI terpanggil hati. Bahwa, tugas ini pun bisa dicover oleh ulama.

Para ulama ini pun tidak melakukan gelar protes, gelar spanduk kecaman, ataupun orasi di depan sorot kamera TV. Tetapi kita lihat, mereka langsung beraksi di jalanan, tanpa spanduk tanpa media yang meliput.

Tidak banyak media yang meliput blusukan para ulama ini. Tetapi, memang ulama tidak butuh popularitas media.  Yang mereka butuhkan cuma satu; akhlak bangsa ini baik. Sudah menjadi kewajiban ulama, khususnya yang duduk di MUI, untuk mengajak kepada kebaikan dan mencegah kejahatan. Apapun bentuknya.

Masalah kebangsaan bertubi-tubi kita tanggung bersama. Kerusakan demi kerusakan akhlak kita saksikan bersama di negeri ini. Di saat itulah ulama berperan. Karena itu, pada bulan Juli 2013, MUI membentuk lembaga baru bernama Pusat Dakwah dan Perbaikan Akhlak Bangsa. Melalui pembentukan lembaga ini, maka kegiatan dakwah untuk perbaikan akhlak bangsa dapat lebih fokus, efektif dan tepat sasaran.

Penulis pernah mendapati cerita, seorang ulama alim di sebuah kota pergi secara rutin pergi pasar. Ternyata dia tidak hanya belanja kebutuhan dapur, tetapi setiap penjual yang ia temui dia ajak untuk menjaga shalat dan menyampaikan pesan melalui obrolan ringan. Sebelum pergi, ia menitipkan uang untuk diberikan kepada anak si penjual tadi. Dakwah sekaligus sedekah.

Kita jadi ingit kebiasaan sayidina Ali Zainal Abidin, seorang ulama keturunan sayidina Ali bin Abi Thalib ra. Menurut cerita, sayidina Ali Zainal Abidin tiap malam memikul gandum untuk dibagi-bagikan kepada fakir miskin. Tak seorang pun mengetahuinya, karena ia melakukannya secara sembunyi-sembunyi.

Amal yang baik, khususnya sedekah, adalah dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Ulama tadi di pasar tidak pamer. Mungkin yang tahu hanya penjual. Sayidina Ali Zainal Abidin juga tak seorang pun tahu kecuali setelah ia wafat. Ulama yang alim memang khumul (tidak suka popularitas). Tujuan perbuatannya semata adalah Allah Swt, bukan manusia. Karena itu,khumul merupakan karakter atau akhlak ulama yang alim. Tipologi inilah yang harus menjadi contoh bangsa ini.

Inilah sisi-sisi humanis para ulama kita. Edukasi yang diberikan tidak hanya di mimbar jum’ah, majelis pengajian, tetapi langsung turun ke area rakyat kecil. Yang diseru tidak hanya kaum pejabat, tetapi rakyat kecil didakwahi. Memang sudah menjadi tugas ulama untuk menjaga negara ini dari segala kemungkaran. Karena itu, bangsa ini butuh pada ulama. Di saat-saat krisis biasanya para ulama tampil mengambil peran positif. Mereka memang tidak suka unjuk diri, tetapi di saat dibutuhkan pasti hadir.

 

HALAMAN SELANJUTNYA…>>