Sudahkah Anda Memiliki Empat Perilaku Takwa Ini?

0
545

PERCIKANIMAN.ID – Kalau ditanyakan apa definisi takwa, maka jawabannya akan bermacam-macam. Kita akan menjumpai beragam definisi yang diungkapkan para ulama. Di sini, penulis akan definisi takwa menurut dua orang sahabat Rasul Saw.

Suatu ketika, sahabat Umar bin Khattab bertanya kepada Ubay bin Ka’ab mengenai arti takwa dijawab oleh Ubay dengan, “Pernahkah kamu melalui jalan berduri?” Umar menjawab, “Pernah.” Ubay menyambung, “Lalu apa yang kamu lakukan?” Umar menjawab, “Aku berhati-hati, waspada dan penuh keseriusan.” Maka Ubay berkata, “Maka demikian pulalah takwa.”

Di hari yang lain, seorang sahabat bertanya kepada Ali bin Abi Thalib tentang apa itu takwa. Beliau menjelaskan bahwa takwa adalah pertama, takut (kepada Allah) yang diiringi rasa cinta, bukan takut karena adanya neraka. Kedua, beramal dengan Al-Quran yaitu dengan menjadikan Al-Quran sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari.

Ketiga, rido dengan yang sedikit (ini berkaitan dengan rezeki). Bila mendapat rezeki yang banyak, siapa pun akan rido. Tapi bagaimana bila sedikit? Yang perlu disadari adalah bahawa rezeki tidak semata-mata yang berwujud uang atau materi. Keempat, orang yang menyiapkan diri untuk “perjalanan panjang”, maksudnya adalah hidup sesudah mati.

Dalam bahasa yang sederhana, takwa diartikan sebagai melaksanakan yang diperintahkan-Nya dan menjauhi segala yang dilarang-Nya. Meski sederhana, definisi tersebut sungguh mengandung pengertian yang dalam dan luas. Namun yang jelas, perilaku takwa terbentuk dari dua elemen utama, yaitu muroqobah (kontrol diri) dan dzikir (ingat kepada Allah) yang akhirnya akan membuahkan sifat keterjagaan dan kekuatan bashirah (cahaya batin).

Berkaitan dengan menghidupkan keterjagaan dan kekuatan bashirah ini, Allah Swt. kemudian mempertajam definisi takwa sebagai usaha untuk menjauhkan diri dari perbuatan dan perkataan yang tiada berguna atau sia-sia (Q.S. [23]: 3). Ya, kehati-hatian yang dimaksud oleh Ubay bin Kaab dapat diartikan sebagai menjaga diri dari melakukan perbuatan sia-sia yang tidak hanya berarti memboroskan potensi yang dikaruniakan oleh Allah Swt. kepada kita, tapi juga satu langkah mendekatkan kita pada perbuatan dosa atau paling tidak perbuatan yang berada di wilayah abu-abu (gray area).  (Muslik)