DPR Nilai Menghilangkan UU Penistaan Agama Akan Memicu Sikap Intoleransi

0
631

 

PERCIKANIMAN.ID – – Praktisi Antropolog dan Penggagas Gerakan Antropolog untuk Indonesia yang Berbhineka dan Inklusif Yando Zakaria Yando Zakaria mengatakan, ‎salah satu hal yang membuat masyarakat Indonesia semakin intoleran adalah persoalan hukum yang tidak terimplementasikan secara baik. Salah satunya adalah adanya aturan yang biasa digunakan dalam kasus penistaan agama yaitu undang-undang (UU) No. 1/PNPS/1965 tentang Penodaan Agama.

“‎Kita perlu berpikir ulang UU penistaan agama. Ini bukan persoalan agama. Penistaan agama menjadi sangat relatif, dan bisa dipolitisasi,” kata Yando usai menemui Presiden Joko Widodo (Jokowi), di Istana Presiden, seperti dilansir dari republika.co.id, Senin (16/1/2017).

Pasal penistaan agama pun sangat mudah digunakan oleh siapa saja untuk menuruh orang lain bahwa mereka menistakan agama tertentu. Hal ini harus segera ditindak secara tegas agar pasal atau undang-undang penistaan agama tidak membuat negara ini terpecah belah.

Penggagas Gerakan Antropolog untuk Indonesia yang Berbhineka dan Inklusif Yando Zakaria (kiri) menyampaikan keterangan usai pertemu dengan Presiden Joko Widodo di Kantor Presiden, Jakarta, Senin (16/1/217). Foto: antara
Penggagas Gerakan Antropolog untuk Indonesia yang Berbhineka dan Inklusif Yando Zakaria (kiri) menyampaikan keterangan usai pertemu dengan Presiden Joko Widodo di Kantor Presiden, Jakarta, Senin (16/1/217). Foto: antara

‎Yando menjelaskan, di banyak negara khususnya yang menganut demokrasi, UU yang menyangkut tentang penistaan agama telah dihapuskan. Namun, Indonesia masih mempunyai UU ini padahal negara inipun adalah negara demokrasi. Menurut Yando, ‎saat ini laporan atas penistaan agama yang dibuat oleh masyarakat terlihat tidak relevan. Mereka hanya menyebut bahwa seseorang menistakan agama tanpa tahu konteks penistaan agama secara utuh.

Menanggapi hal tersebut Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI yang membidangi masalah agama dan sosial, Dr.Sodik Mudjahid menilai usulan tersebut tidak tepat karena akan memicu tindakan intoleransi beragama. Ia menganalogikan ketika banyak pelanggaran lalu lintas bukan berarti regulasi atau uu lalu lintas yang harus dihilangkan.

“Ketika konflik antar suku marak bukan regulasi tentang hal tersebut yang dihapus atau dihilangkan. Demikian juga dengan maraknya kasus dugaan penistaan agama maka terlalu dini jika menilai UU Penistaan Agama pemicunya sehingga harus dihapus,”ungkapnya saat dihubungi  percikaniman.id

Sodik menambahkan justru yang harus tingkatkan adalah komitmen bersama untuk menegakkan UU Penistaan Agama. Ia menilai saat ini sikon masyarakat belum cukup dewasa sehingga perlu edukasi dan sosialisasi yang terus menerus.

“Yang harus lebih diperhatikan adalah jangan hanya bertumpu dan mengandalkan kepada masalah hukum dan sanksi bagi penistaan agama namun proses edukasi tentang saling menhormati dan saling toleransi harus digalakan,”imbuhnya.

Sodik juga menilai jika  ada beberapa negara demokrasi khususnya di barat yang sudah  menghapus UU Penistaan Agama maka setidaknya ada dua alasan, pertama di Negara-negara tersebut kedudukan agama dalam masyarakat  sudah tidak begitu penting seperti diIndonesia.  Kedua adalah masyarakatnya sudah sangat dewasa dalam berdemokrasi sehingga sika saling menghormati antar masyarakat baik dalam hal perbedaab  keyakinan (agama), budaya, bersikap dan berpendapat sudah begitu tinggi.

“Bagaimana dengan kondisi masyarakat di Indonesia, apakah agama sudah tidak penting lagi atau tingkat kesadaran bertoleransi sudah tinggi?. Selama agama masih menjadi pedoman masyarakat dan sikap toleransi masih diperlukan maka UU Penistaan Agama juga masih dibutuhkan,”pungkasnya. [ ]

 

Red: admin

Editor: iman

Ilustrasi foto: okezone