Oleh: KH.Drs.Abdurrahman Rasna,MA*
PERCIKANIMAN.ID – – Ada yang pertanyaan yang disampaikan kepada penulis bahwa salah seorang keluarganya wafat pada bulan Ramadhan tahun lalu. Namun almarhum belum sempat mengqadha shaumnya, apakah ahli warisnya harus mengqadha atau cukup membayar fidyah?.
Terkait hal ini para ulama beraragam pendapat terkait badal shaum. Sebagian dari mereka berpandangan bahwa orang yang telah wafat dan memiliki kewajiban shaum yang belum diqadha, hendaknya digantikan ( badal ) oleh walinya atau kerabat yang menjadi ahli warisnya.
Kelompok ini mendasarkan pandangannya pada dalil-dalil berikut:
- Hadis riwayat Bukhari dan Muslim bersumber dari sayyidah ‘Aisyah yang diriwayatkan Imam Bukhari (1816) dan , Imam Muslim (1935) menjelaskan sabda Nabi Shalallahu Alaihi Wasallam :
(مَنْ مَاتَ وعَلَيهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ). متفق عليه
“Siapa wafat dalam keadaan memiliki kewajiban shaum maka walinya supaya shaum atasnya.
- Hadis riwayat Muslim, Abu Daud, dan Tirmizi bersumber dari Buraidah yang menceritakan adanya seorang perempuan yang bertanya kepada Nabi tentang kemungkinan badal shaum bagi ibunya yang wafat dalam keadaan memiliki kewajiban shaum:
وَعَنْ بُرَيْدَةَ قَالَ: بَيْنَا أَنَا جَالِسٌ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إذْ أَتَتْهُ امْرَأَةٌ فَقَالَتْ: …يَا رَسُولَ اللَّهِ إنَّهُ كَانَ عَلَيْهَا صَوْمُ شَهْرٍ أَفَأَصُومُ عَنْهَا ؟ قَالَ : صُومِي عَنْهَا … رَوَاهُ أَحْمَدُ وَمُسْلِمٌ وَأَبُو دَاوُد وَالتِّرْمِذِيُّ
“Dari Buraidah, ia berkata: ketika saya duduk di samping Rasulullah SAW tiba-tiba datanglah seorang perempuan yang bertanya kepada Nabi …. Ya Rasulullah bagaimana jika yang wafat ada kewajiban shaum Ramadhan apakah aku harus shaum mewakilinya. Nabi berkata berpuasalah untuknya” (HR. Ahmad, Muslim, Abu Daud, dan Tirmizi)
- Hadis riwayat Imam Bukhari (1953) bersumber dari Abdullah bin ‘Abbas yang menceritakan adanya seorang lelaki yang datang kepada Nabi dan menanyakan kemungkinan badal shaum Ramadhan untuk ibunya yang telah wafat:
عَنْ عَبْدِ الله بِنِ عَبَّاس رَضْيَ الله عَنْهُمَا قال: جَاءَ رَجُلٌ إلى النَّبيِّ صلى الله عليه وسلم فقالَ: يَا رَسُولَ الله، إِنَّ أمي مَاتَت وَعَلَنهَا صَوْمُ شَهْرٍ: أفأَقضِيهِ عَنْهَا؟ قال: ” لَوْ كانَ عَلَى أُمِّكَ دَيْن أَكُنْتَ قَاضِيَهُ عَنْهَا؟”. قال: نعم: قال: ” فَدَيْنُ الله أحَقُّ أنْ يُقْضَى”. وفي رواية: جَاءَتْ امْرَأة إلى النَّبيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ الله، إن أُمِّي مَاتَت وَعَلَيْهَا صَوْمُ نَذرٍ، أَفَأَصُوْمُ عَنْهَا؟ قال: “أَفَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ فَقَضَيْتيِهِ، أَكَانَ يُؤَدَّى ذَلِكَ عَنْهَا؟ قالت: نعم. قال: ” فَصُومِي عَنْ أُمِّك”.
“Dari Abdullah bin ‘Abbas RA, ia berkata: seorang laki-laki datang menemui Nabi SAW dan bertanya: Wahai Rasulullah, ibuku telah wafat dalam keadaan memiliki kewajiban shaum Ramadhan, apakah aku mengqadha untuknya? Nabi berkata: Sekiranya ibumu punya hutang, apakah kamu akan mengganti hutangnya? Ia berkata: ya. Nabi berkata: Hutang kepada Alah lebih berhak untuk diganti. Dalam riwayat lain disebutkan adanya seorang perempuan datang kepada Nabi lalu bertanya: ya Rasulullah, ibuku wafat dan ia punya kewajiban shaum Nazar, apakah aku shaum untuknya? Nabi berkata: Bagaimana pendapatmu jika beliau punya hutang lalu engkau menggantikannya, apakah hal itu telah melunasi kewajibannya. Ia menjawab: ya. Nabi bersabda: Maka berpuasalah untuk ibumu”.
Demikian beberapa hadits shahih yang diriwayatkan oleh Para Imam Hadits dengan jumlah yang relatif banyak, yang menjadi referensi dan dalil kelompok yang menfatwakan kebolehan atau keniscayaan badal shaum bagi seseorang yang wafat dalam keadaan memiliki kewajiban shaum, baik shaum Ramadhan maupun shaum Nadzar. Badal shaumnya itu sendiri, menurut kelompok ini harus dilaksanakan oleh wali atau kerabat yang menjadi ahli warisnya.
Sebagian lain dari para ulama menegaskan bahwa badal shaum untuk mayat tidak perlu dilakukan. Fatwa dari kelompok kedua ini mendalilkan pada kedudukan shaum Ramadhan.
Ibadah shaum Ramadhan adalah diperintahkan Allah Ta’ala kepada setiap muslim untuk menunaikannya sebagaimana terkandung dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 183. Kewajiban beribadah yang ditaklifkan Allah kepada setiap muslim ini ditegaskan oleh Nabi Muhammad SAW sebagai salah satu dari rukun Islam, yang yang berkonsekwensi pada tidak sempurnanya keislaman seseorang jika tidak melakukannya. Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasallam bersabda:
بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةٍ أنْ لاَ إلَهَ إلاَّ اللَّهُ وأنَّ محمَّداً رَسُولُ اللَّهِ، وَإِقَامَةِ الصَّلاةِ، وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ وَحَجِّ البَيْتِ مَنْ اِسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيْلًا (رواه البخاري و مسلم من حديث إبن عمر رضي لله عنهما)ۥ
“Islam dibangun di atas lima, yaitu bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan Nabi Muhammad itu utusan Allah; dan mendirikan Shalat; dan mengeluarkan Zakat; dan berpuasa Ramadhan; dan menunaikan Haji ke Baitullah bagi yang mampu mengadakan perjalanannya”. (HR. Bukhari dan Muslim bersumber dari Ibnu Umar rradhiyallaahu ‘anh yang ditiwayatkan Imam al-Bukhari, ( shahih Bukhari, 8/4515; dan Shahih al-Muslim, 16)
Sebagai ibadah yang berkedudukan rukun Islam, syariat Islam telah membuatkan aturan ketatalaksanaannya sebagaimana terkandung di Al-Qur’an surat Al-Baqarah mulai ayat 183 hingga ayat 188. Misalnya, bagi orang yang sedang sakit dan safar, boleh tidak berpuasa lalu menggantinya di lain hari. Jika karena kondisi tertentu yang membuatnya sulit untuk menggantinya di lain hari, maka dapat dilakukan dengan membayar denda (fidyah) berupa memberi makan kepada seorang miskin.
Dari penjelasan di atas, dapatlah disimpulkan bahwa ibadah shaum Ramadhan adalah merupakan kewajiban yang bersifat personal individual (‘Aeni), yang menuntut respons dari setiap muslim dalam wujud ikhtiar untuk menunaikan kewajiban tersebut oleh dirinya sendiri sesuai batas-batas kemampuannya. Sekiranya karena sesuatu hal yang membuatnya tidak memiliki daya untuk memunaikannya, maka solusinya bukanlah diwakilkan kepada orang lain untuk mengerjakannya, melainkan cukup mengikuti ketentuan yang telah digariskan syariat Islam, yakni dengan membayar fidyah untuk orang miskin.
Adapun hadits-hadits tentang kebolehan atau keniscayaan badal shaum yang menjadi referensi dan dalil kelompok yang membolehkan dan atau meniscayakan adanya badal shaum adalah tidak valid (sah) menjadi hujjah atau dalil agama. Hal demikian mengingat bahwa meskipun secara periwayatan terbukti sahih, tetapi secara substansi (konten atau matan) bertentangan dengan nilai-nilai dasar ajaran Islam sebagaimana terkandung dalam Al-Qur’an.
Para ulama telah merusmuskan syarat keshahihan suatu hadits, yang di antaranya tidak boleh bertentangan dengan nash Al-Qur’an:
الحديث الصحيح ما سلم لفظه من ركاكة، ومعناه من مخالفة آية أو خبر متواتر
“Hadits shahih adalah hadis yang lafazhnya selamat dari kejanggalan, dan isi kandungannya (selamat) dari menyalahi ayat al-Qur’an atau khabar mutawatir” (Al-Jurjani, Al-Ta’rifat, 74)
Al-Qur’an telah menegasakan nilai-nilai dasar ajarannya. Salah satunya adalah bahwa seseorang tidak dapat menerima akibat apa pun melainkan dari apa yang telah dilakukannya.
Hal ini terkandung dalam Al-Quran surat Al-Najm ayat 39-40:
وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى وَأَنَّ سَعْيَهُ سَوْفَ يُرَى
“Dan tidak ada bagi manusia kecuali apa yang ia usahakan. Dan sesungguhnya usahanya itu akan diperlihatkan”
Para ahli tafsir memberikan penjelasan atas ayat tersebut:
أن حسنة الغير لا تجدي نفعاً ومن لم يعمل صالحاً لا ينال خيراً فيكمل بها ويظهر أن المسيء لا يجد بسبب حسنة الغير ثواباً ولا يتحمل عنه أحد عقاباً
“Seseorang tidak menerima manfaat dari kebaikan yang dikerjakan orang lain. Siapa tidak beramal shaleh maka tidaklah menerima kebaikannya. Seseorang yang berbuat buruk tidak mendapatkan pahala dari akibat kebaikan orang lain, dan tidak pula menanggung dosa dari akibat perbuatan orang lain” (Al Razi, Al-Tafsir Al-Kabir, Vol. 29, hal. 14-15),
وأن عمل كلّ عامل سوف يراه يوم القيامة، من ورد القيامة بالجزاء الذي يُجازى عليه، خيرا كان أو شرّا، لا يؤاخذ بعقوبة ذنب غير عامله، ولا يثاب على صالح عمله عامل غيره. وإنما عُنِي بذلك: الذي رجع عن إسلامه بضمان صاحبه له أن يتحمل عنه العذاب، أن ضمانه ذلك لا ينفعه، ولا يُغْنِي عنه يوم القيامة شيئا، لأن كلّ عامل فبعمله مأخوذ
“Setiap pelaku akan melihatnya kelak di hari akherat. Pahala akan datang sesuai dengan perbuatannya, baik atau buruk. Seseorang tidak disiksa disebabkan dosa orang lain, dan tidak pula diberi pahala dari akibat kebaikan orang lain. Atas dasar itu, seseorang yang keluar dari Islam dengan jaminan orang lain yang siap menerima akibat dosanya, maka jaminan itu tidak memberikan manfaat sedikit pun, dan tidak ada faedah baginya pada hari kiamat. Hal itu dikarenakan setiap pelaku hanya akan diminta pertanggungjawaban dari apa yang telah ia sendiri kerjakan” (Al-Thabari, Jami’ Al-Bayan ‘An Ta’wil Ay Al-Qur’an, Vol. 13, hal. 74)
لا يحمل عليه وزر غيره، كذلك لا يحصل من الأجر إلا ما كسب هو لنفسه
“Dosa seseorang tidak dapat dialihkan kepada orang lain. Demikian pula pahala tidak dapat diraih seseorang kecuali ia mengusahakannya sendiri untuk dirinya sendiri” (Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’an Al ‘Adhim, Vol. 6, hal. 462),
Ayat Al-Qur’an disertai penjelasan dari para ahli tafsir sebagaimana dipaparkan di atas memberikan pelajaran penting tentang tanggungjawab yang melekat pada setiap diri manusia. Setiap orang harus mempertanggungjawabkan perbuatannya sendiri, dan ia akan menanggung sendiri segala akibat dari perbuatannya. Jika berbuat baik, berhak lah ia atas pahala, sebaliknya jika berbuat buruk maka berdosalah dia. Akibat dari perbuatan baik yang ditunaikan seseorang tidaklah dapat dioper kepada orang lain sebagaimana pula ia tidak menerima akibat dari perbuatan buruk orang lain. Setiap orang menanggung akibatnya sendiri-sendiri, sesuai dengan apa yang telah diperbuatnya.
Berdasarkan pada uraian di atas, maka dapatlah disimpulkan bahwa hadits-hadits tentang badal shaum nampak sekali bertentangan dengan nilai-nilai dasar yang ditentukan Al-Qur’an.
Hadits-hadits tentang badal shaum juga bertentangan dengan hadits-hadits lain yang terbukti shahih secara periwayatan:
عن ابنِ عبَّاسٍ، قال: لا يُصلِّي أحدٌ عن أحدٍ، ولا يصومُ أحدٌ عن أحدٍ
“Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata: Seseorang tidak salat atas nama orang lain, dan tidak pula sahum atas nama orang lain” H.R. Abu Daud. (Sunan Abi Daud, 4/75)
أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ يُسْأَلُ : هَلْ يَصُومُ أَحَدٌ عَنْ أَحَدٍ أَوْ يُصَلِّي أَحَدٌ عَنْ أَحَدٍ ؟ فَيَقُولُ : لَا يَصُومُ أَحَدٌ عَنْ أَحَدٍ وَلَا يُصَلِّي أَحَدٌ عَنْ أَحَدٍ
“Adalah Abdullah bin Umar ditanya apakah seseorang berpuasa dan salat atas nama orang lain? Dia menjawab: Tidaklah seseorang berpuasa dan salat atas nama orang lain” (H.R. Malik. Muwatha Malik no. 679)
Dengan mengacu pada nash-nash Al-Qur’an dan hadis-hadis sahih di atas, maka para Imam Mazhab seperti Abu Hanifah, Malik dan Syafi’i menyampaikan fatwa bahwa tidak ada badal shaum secara mutlak untuk seorang yang wafat dalam keadaan memiliki kewajiban shaum.
وذهب أبو حنيفة ومالك والشافعي في القول الجديد إلى أن الميت لا يصام عنه مطلقًا، متمسكين بقول ابن عباس -رضي الله عنهما- الذي رواه النسائي بإسناد صحيح: “لا يصل أحد عن أحد، ولا يصم أحد عن أحد”. وبقول عائشة رضي الله عنها: “لا تصوموا عن موتاكم، وأطعموا عنهم”
“Abu Hanifah, Malik dan Syafi’i (dalam fatwa baru) berpandangan bahwa mayit tidak dipuasakan atas namanya secara mutlak. Mereka berpegang pada ucapan Ibnu ‘Abbas RA yang diriwayatkan Nasai dengan sanad shahih “Janganlah seseorang shalat atas nama orang lain, dan janganlah berpuasa atas nama orang lain” (Al-Syaukani, Nail al-Authar, 4: 264; Fath al-Bari, 4:168)
Dengan demikian, maka dapatlah disarikan bahwa seseorang yang tidak dapat menunaikan shaum Ramadhan karena sesuatu hal ringan yang menghalanginya seperti sakit, maka cukuplah ia sendiri mengqadhanya di lain bulan. Jika ia wafat sebelum selesai mengaadha shaum Ramadhan yang ditinggalkannya , maka gugurlah kewajiban qadhanya karena ia belum sampai pada waktu yang mengharuskannya ia melakukan qadha. Jika halangan itu bersifat permanen seperti sakit parah dan menahun, maka cukuplah dengan membayar fidyah. Jika seseorang wafat sebelum ia menyelesaikan qadhanya, maka tidaklah dibadal kewajiban shaumnya oleh wali atau ahli warisnya, melainkan –ini lebih utama– cukup digantikan dengan membayar fidyahnya.
Demikian penjelasannya, semoga bermanfaat. Wallahu’alam bishshawab. [ ]
*penulis adalah anggota Komisi Dakwah MUI Pusat dan anggota Bidang Dakwah PB MA serta dosen di Banten.
5
Red: admin
Editor: iman
937