Shaum Dan Perwujudan Jembar Budayana

0
725
Remaja muslim sedang berswafoto ( ilustrasi foto: pixabay)

Oleh: KH.Drs.Abdurrahman Rasna,MA*

 

PERCIKANIMAN.ID – – Ramadhan memang bulan yang agung. Tidak hanya sekadar puasa, setiap kaum beriman diwajibkan menunaikan zakat, memperbanyak shalat malam, membaca dan mengkaji kemuliaan Alqur’an.

 

Karena istimewa, maka bulan Puasa disambut sukacita dengan berbagai kegiatan dan kebiasaan. Begitu pula dengan kabiasaan Urang Sunda yang memadukan ibadah selama puasa dipadupadankadipadukan  dengan kebudayaan Sunda.

 

Hal itu sangat beralasan karena antara Sunda dan Islam saling beririsan. Islam di Tatar Sunda datang dengan penuh kedamaian.

 

Dalam antologi buku Islam dan Sunda dalam Akulturasi Timbal Balik yang disusun oleh Teddi Muhtadin dan Deni A Fajar, terdapat tulisan karya mantan Rektor IAIN (UIN) Sunan Gunungdjati Bandung, Prof. Dr. KH. Rachmat Djatnika. Menurut Rachmat, sebelum agama Islam datang ke Tatar Sunda, orang Sunda telah memiliki budaya, yang menjadi adat istiadatnya. Gambaran ajaran dan budaya Sunda itu dapat dilihat dari pepatah-petitih, nasihat-nasihat, yang biasa didendangkan oleh anak-anak atau para remaja, yang merupakan hasil gubahan para pujangga Sunda.

 

Jejak keberislaman Urang Sunda setidaknya terekam dalam karya tulis para pujangga Sunda. Bahkan, pada tahun 1913, muncul tulisan karya Haji Hasan Mustapa yang berjudul Bab Adat-adat Urang Sunda jeung Priangan Lianna ti Éta. Dalam buku tersebut dipedar kebiasaan Urang Sunda tatkala menjelang Ramadhan dan merayakan hari Lebaran. Dari mulai nadran/nyekar/ziarah kubur, kuramas/diangir mandi, ngadulag (pukul bedug) hingga bersalaman antarwarga setelah khatib turun dari mimbar setelah salat Idulfitri.

 

Jelas, timbal balik Islam dan Sunda dapat dibaca dalam kehidupan masyarakat dan karya-karyanya, apabila masyarakat mewujudkannya dalam budaya keseharian.

 

Maka para sastrawan Sunda ti baheula hingga ayeuna terus meramu ihwal keislaman dan kesundaan dalam karya sastra Sunda.

 

Sebelum menelisik puasa dalam sastra dan budaya Sunda, mari kita baca selintas pintas jejak sejarah puasa yang saya sarikan dari berbagai kepustakaan.

 

Tradisi puasa ada di sebagian berbagai suku bangsa dan agama. Pada zaman Alexandria pimpinan Batlimus, tradisi puasa dilakukan dalam rangka kesehatan. Pun di negeri Yunani kuno, dokter Hippocrates, yang hidup pada abad ke-5 SM, telah menyusun cara-cara puasa untuk terapi pengobatan.

 

Dari negeri Tiongkok, pada abad ke-6 SM, seorang tabib dari Tiongkok bernama Shu Jhu Chi menulis satu bab khusus dalam kedokterannya tentang terapi puasa dan terapi makanan. Tidak hanya terkait dengan kesehatan raga, pemikir filsafat bernama Epicurus (341-270 SM), menjadikan puasa sebagai salah satu memberdayakan kekuatan pikiran dan kreativitasnya.

 

Umat Hindu dan Buddha pun melakukan puasa sesuai dengan ajaran dan kitab sucinya. Kita bisa melihat tradisi itu dengan jelas ketika kebetulan di pulau dewata. Kita tentu ingat dengan  ”Catur Brata” berupa amati geni (tiada berapi-api/tidak menggunakan dan atau menghidupkan api), amati karya (tidak bekerja), amati lelungan (tidak bepergian), dan amati lelanguan (tidak mendengarkan hiburan). Mereka sebisa mungkin dapat mendekatkan diri kepada Tuhannya.

 

Mengosongkan Perut

 

Kata ”puasa” berasal dari bahasa Sanskerta yaitu ”upa” yang berarti dekat atau mendekat, dan ”wasa” yang berarti Tuhan. Upawasa atau puasa bermakna mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Dalam Kamus Basa Sunda karya R Satjadibrata, kata puasa atau upawasa bermakna mengosongkan perut sepanjang siang. Ama Satja menambahkan, puasa itu terdiri atas puasa wajib, puasa sunat, dan puasa tirakat.

 

Terkhusus untuk orang Islam dan beriman, kewajiban puasa diperintahkan Allah swt dan termaktub dalam Alquran surat Al-Baqarah ayat 183 :

 

يايها الذين امنوا كتب عليكم الصيام كما كتب على الذين من قبلكم لعلكم تتقون.

 

”Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”

 

Hadits Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam yang terkait dengan puasa pun cukup banyak dan ini bisa menjadi motivasi bagi yang belum yakin akan keutamaan puasa. Salah satu hadits yang sohéh adalah,

 

عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ – رضى الله عنه – عَنِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ « فِى الْجَنَّةِ ثَمَانِيَةُ أَبْوَابٍ ، فِيهَا بَابٌ يُسَمَّى الرَّيَّانَ لاَ يَدْخُلُهُ إِلاَّ الصَّائِمُونَ »

 

Diriwayatkan dari Sahl bin Saad ra katanya: Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya di dalam Surga itu terdapat pintu yang dinamakan Ar-Rayyan. Orang yang berpuasa akan masuk melalui pintu tersebut pada Hari Kiamat kelak. Tidak boleh masuk seorang pun kecuali mereka. Kelak akan ada pengumuman: Di manakah orang yang berpuasa? Mereka lalu berduyun-duyun masuk melalui pintu tersebut. Setelah orang yang terakhir dari mereka telah masuk, pintu tadi ditutup kembali. Tiada lagi orang lain yang akan memasukinya.” (HR Bukhari-Muslim).

 

Bagi umat Islam di Tatar Sunda,  puasa dalam bulan Ramadhan tidak dianggap hanya ritus biasa. Puasa begitu istimewa. Malah, beberapa minggu sebelum Ramadhan tiba, berbagai tradisi tahunan itu terus didawamkan.

 

Beberapa kearifan Sunda sebelum, ketika, dan setelah Ramadhan adalah nyekar, munjungan, munggahan, papajar-botram-cucurak, tarawéh, ngabeubeurang-ngabuburit, ngabedahkeun-ngubek sétu, mamaleman, lilikuran, malembung malempes (Sunda Pandeglang) mudik, ngadulag, nganteuran, qunutan (dengan membuat ketupat dan lrmper ketan dibungkus daun kelapa muda (Banten), pelesiran/jalan-jalan.

 

Tradisi tersebut satu dengan yang lain saling berkaitan. Malah dalam beberapa hal hanya beda nama tetapi sama makna. Tentu saja dalam satu tradisi itu pun terdapat keragaman bentuk dan cara. Banyak yang unik dan penuh unak-anik.

 

Misalnya, dalam ngabuburit, urang Sunda di pedalaman Garut, Tasikmalaya, Pandeglang dan beberapa daerah yang lain ada yang bermain lodong bebeledugan berupa mainan perang-perangan dari bahan bambu, dan lain-lain.

 

Mari perhatikan sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam  tentang bubungah/bisyarah/mental bungah :

 

مَنْ فَرِحَ بِدُخُولِ رَمَضَانَ حَرَّمَ اللهُ جَسَدَهُ عَلىَ النِّيْرَانِ

 

 “Siapa bergembira dengan masuknya bulan Ramadhan, Allah akan mengharamkan jasadnya masuk neraka”.

 

Dalam ngabeubeurang dan ngabuburit, barudak Sunda di sekitar Gunung Puntang, Cimaung, Bandung asyik bermain lalaheran berupa mobil-mobilan yang terbuat dari papan kayu bekas.

Kekayaan Bahasa

 

Tradisi itu dengan otomatis menambah kekayaan bahasa dan sastra Sunda. Tidak terkecuali dalam babasan dan peribahasa Sunda. Kita tentu ingat dengan “kokoro manggih mulud puasa manggih lebaran”. Ada pula terminologi seperti saur, puasa ayakan, nyémén, janari, mamaleman, dll.

 

Nah, keagungan Ramadhan itu oleh para pengarang sastra Sunda dijadikan ilham dalam menghasilkan karya dalam berbagai jenis sastra. Dalam novel, carita pondok, sajak, drama, sisindiran, dan guguritan makna, latar, dan jalan cerita banyak yang memberdayakan perihal Lebaran dan Puasa. Hal ini semakin meneguhkan bahwa karya sastra téh wawakil jirim jamanna. Sastra adalah mimesik. Sastra Sunda merupakan cermin dari kehidupan nyata.

 

Selain Haji Hasan Mustapa, beberapa sastra Sunda yang memberdayakan momen Puasa dan Lebaran dalam karyanya adalah Rahmatullah Ading Afandi (RAF) yang juga ka masyhur ka aeun-awun kakoncara kamsna-mana tayangan “Inohong di Bojong Rangkong” dalam buku Dongéng Énténg ti Pasantrén (1961). Lalu, ada nama Ahmad Bakri. Pengarang Sunda dari Ciamis yang produktif itu bahkan disebut-sebut sebagai pengarang yang sangat mahir dalam mendeskripsikan suasana puasa di Tatar Sunda. Dalam buku Dukun Lepus (2002) setidaknya ada dua judul carpon yang khusus menggarap fenomena puasa, yaitu dalam judul ”Lebaran Poé Jumaah” dan ”Beduk ti Nagri Ajrak”.  Selain dua karya fenomenal tersebut, masih ada karya Ahmad Bakri yang memberdayakan momen puasa yaitu Srangéngé Surup Mantén (1968)  dan Payung Butut (1989).

 

Setelah generasi Ahmad Bakri makin banyak pengarang Sunda yang menbedah tema puasa melaui karya sastra Sunda. Satu nama yang cukup produktif adalah Usep Romli. Mantan abdi negara (PNS/ASN) yang lalu menekuni jurnalistik di grup Pikiran Rakyat tersebut sering menulis prosa dan puisi terkait dengan Ramadan di berbagai media bahasa Sunda semacam Manglé, Galura, dan Sunda Midang. Setidaknya jejaknya dapat dibaca di buku kumpulan carponnya berjudul Paguneman jeung Firaon (2003). Bahkan sejak pemilihan judul pun Usép Romli sudah terang-terangan menceritakan kisah yang terkait dengan bulan Puasa yaitu carpon ”Lailatul Qodar”.

 

Adapun beberapa pengarang Sunda yang memberdayakan momen Ramadhan, bulan Puasa, dan Lebaran antara lain Sjarif Amin, Eddi S Iskandar, Etti RS, Rosyid E Abby, Dian Hendrayana, serta Dadan Sutisna. Semoga bermanfaat. Wallahu’alam . [ ]

 

*penulis adalah anggota Komisi Dakwah MUI Pusat dan anggota Bidang Dakwah PB MA serta dosen di Banten

**materi disampaikan di Masjid Jami’ Ulul Albab, Universitas Pasundan (Unpas) Bandung

 

5

Red: admin

Editor: iman

903

 

 

 

#ulah dahar keur lapar, ulah sare keur tunduh, ulah waka eureun lamun pamadegan masih keneh meureun***

 

والله اعلم بالصواب.

هدانا الله واياكم الى صراط مستقيم.

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته.