Tradisi Mudik Dan Cinta Tanah Air

0
610

 

“Setelah punya rumah, apa cita-citamu”

“Kecil saja: Ingin sampai rumah saat senja, supaya saya dan senja sempat minum teh bersama di depan jendela” Joko Pinurbo  (Baju Bulan; Seuntai Puisi Pilihan)

 

Oleh: Muhammad Syafii Kudo*

 

PERCIKANIMAN.ID – – Kutipan puisi dari Joko Pinurbo (Jokpin) tersebut saya kutip untuk mewakili keadaan hati jutaan rakyat negeri ini yang sedang dilanda kangen pada rumahnya. Rindu pada kampung halamannya. Sangat ingin berjumpa ibu bapaknya. Juga kepada kawan, sanak saudara dan kenangan masa kecilnya di tanah kelahiran. Iya, semua perasaan itu terangkut dalam satu laku khas masyarakat nusantara yang bernama mudik.

 

Berdasar beberapa sumber referensi, istilah mudik sesungguhnya baru populer sekitar era 1970-an. Dan setiap daerah  memiliki penamaan masing-masing dalam menyebut tradisi mudik tersebut. Bagi masyarakat di Jawa, mudik berasal dari kata ‘Mulih Disik’ yang berarti pulang dulu sejenak.

 

Sedangkan bagi masyarakat Betawi, mudik diartikan sebagai ‘kembali ke udik (kampung)’. Jurnalis senior, Alwi Shahab, dalam buku berjudul Maria Van Engels: Menantu Habib Kwitang (2006) juga mengangkat pengistilahan mudik dari sudut pandang perantau Minang. Ia menjelaskan, “Bagi orang Minang, yang menurut perkiraan tahun 2000 jumlahnya di Jabodetabek paling tidak dua juta orang, sejak lama dikenal dengan istilah ‘pulang basomo.’

 

Komaruddin Hidayat dalam tulisan di e-book berjudul Indahnya Mudik Lebaran (2015), menjelaskan romantisme mudik sebagai nostalgia dan napak tilas semasa remaja. Mudik, baginya adalah rekreasi emosional yang indah dan melankolis, yang mampu menembus waktu yang panjang.

 

Komaruddin juga mengungkap alasan kenapa seseorang menyukai mudik. Alasannya, tak lain karena ada ungkapan klasik bahwa manusia itu ‘homo festivus’, yakni makhluk yang senang festival.

 

Karenanya, Komaruddin mengatakan, “… dengan begitu banyak festival, termasuk festival yang bernuansa keagamaan. Ramai-ramai merayakan Lebaran Idul Fitri bisa juga tergolong festival. Pada setiap festival, ada pola yang ajeg, yang dilakukan berulang-ulang secara masif pada momen-momen tertentu, beramai-ramai dalam suasana kegembiraan.”

 

“Ada lagi yang mengatakan, manusia itu makhluk peziarah. Wanderer or traveler being, yakni senang melakukan perjalanan atau jalan-jalan. Setiap datang hari libur, agenda utamanya jalan-jalan, rekreasi,” tambahnya.

(https://voi.id/amp/50051/sejarah-mudik-nusantara?__twitter_impression=true).

 

 

Dari riwayat sejarah mudik itulah maka wajar belaka jika masyarakat banyak yang kecewa saat pemerintah mengumumkan bahwa tahun ini mudik bagi pribumi dilarang, atau katanya yang diperbolehkan hanya area lokal saja atau boleh sebelum tanggal sekian bla bla bla.

 

Namun ironisnya di saat yang sama, didapati fakta bahwa beberapa tempat wisata dan pusat perbelanjaan diberi izin untuk beroperasi. Dan lebih absurdnya adalah diperbolehkannya WNA tempat asal Covid-19 masuk ke negeri ini.

 

Beberapa anomali kebijakan itulah yang  membuat masyarakat kekeuh untuk tetap mudik apapun resikonya. Bahkan beredar slogan di kalangan warganet, “Tahun Depan Covid-19 belum tentu hilang, namun tahun depan orang tua belum tentu masih hidup.”

 

Mudik selain sebagai laku ritual budaya-keagamaan tahunan, ia juga merupakan gambaran fitrah bagi makhluk hidup yang bagaimana pun juga selalu ingin kembali ke sarang (tanah kelahiran). Ikan Salmon yang lahir di sungai tawar dan setelah dewasa bermigrasi ke laut hingga jarak  ribuan kilometer, tetap akan kembali ke sungai tawar tempat asal dia dilahirkan dahulu saat hendak bertelur.

 

Ada pula penyu yang setelah ditetaskan di pasir pantai dan menjadi tukik dia akan berenang bebas ke lautan luas hingga jarak yang jauh dan waktu yang lama. Namun saat hendak bertelur, mereka akan kembali ke pesisir pantai tempatnya dulu ditetaskan oleh induknya.

 

Mengutip livescience.com, Roger Brothers dari Universitas Carolina Utara di Amerika Serikat pernah memimpin sebuah penelitian untuk mengetahui cara penyu kembali ke tempat kelahirannya. Tim tersebut menggunakan data dari tahun 1993 sampai 2011.

 

Dari hasil penelitian itu, diketahui ternyata penyu-penyu mengikuti medan magnet Bumi. Namun, tim peneliti itu masih belum tahu apa yang membuat penyu-penyu tersebut dapat mengenali medan magnet Bumi.

 

Jika hewan sebagai makhluk tak berakal saja bisa memiliki ikatan yang kuat dengan tempat asalnya dan rela “mudik” dari perantauan mereka meski harus menempuh jarak ribuan kilometer, maka bagaimana pula dengan manusia?

 

 

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tanah air secara sederhana didefinisikan sebagai negeri tempat kelahiran. Al-Jurjani mendefinisikan wathan sebagai,

 

اَلْوَطَنُ الْأَصْلِيُّ هُوَ مَوْلِدُ الرَّجُلِ وَالْبَلَدُ الَّذِي هُوَ فِيهِ

 

“Wathan ashli adalah tempat kelahiran seseorang dan negeri di mana ia tinggal di dalamnya.” (Ali Al-Jurjani, Al-Ta’rifat, Beirut: Dar Al-Kitab Al-Arabi, 1405 H, hal. 327).

 

Manusia sebagai makhluk yang memiliki naluri alamiah mencintai tempat lahirnya (kampung halaman) tentu memiliki ikatan batin yang sangat kuat dengan kampungnya. Sebab ada Childhood Memories yang pernah terukir di kampung halaman.

 

Mengenai kampung halaman ini Allah SWT berfirman,

 

أَنَّا كَتَبْنَا عَلَيْهِم أَنِ اقْتُلُوْا أَنْفُسَكم أَوِ أخرُجُوا مِن دِيَارِكُمْ مَا فَعَلُوْه إِلَّا قَلِيْلٌ مِنْهُمْ

 

“Dan sesungguhnya jika seandainya Kami perintahkan kepada mereka (orang-orang munafik): ‘Bunuhlah diri kamu atau keluarlah dari kampung halaman kamu!’ niscaya mereka tidak akan melakukannya, kecuali sebagian kecil dari mereka…” (QS. An-Nisa’ [4]: 66).

 

Syeikh Wahbah Al-Zuhaily dalam tafsirnya al-Munir fil Aqidah wal Syari’ ah wal Manhaj menyebutkan,

 

وفي قوله: (أَوِ اخْرُجُوْا مِنْ دِيَارِكُمْ) إِيْمَاءٌ إِلىَ حُبِّ الوَطَنِ وتَعَلُّقِ النَّاسِ بِهِ، وَجَعَلَه قَرِيْنَ قَتْلِ النَّفْسِ، وَصُعُوْبَةِ الهِجْرَةِ مِنَ الأوْطَانِ.

 

“Di dalam firman-Nya

 

وِ اخْرُجُوْا مِنْ دِيَارِكُمْ

 

terdapat isyarat akan cinta tanah air dan ketergantungan orang dengannya, dan Allah menjadikan keluar dari kampung halaman sebanding dengan bunuh diri, dan sulitnya hijrah dari tanah air.” (Wahbah Al-Zuhaily, al-Munir fil Aqidah wal Syari’ah wal Manhaj, Damaskus, Dar Al-Fikr Al-Mu’ashir, 1418 H, Juz 5, hal. 144).

 

Pada kitabnya yang lain, Tafsir al-Wasith, Syekh Wahbah Al-Zuhaily mengatakan,

 

وفي قَولِهِ تَعَالى: (أَوِ اخْرُجُوا مِنْ دِيارِكُمْ) إِشَارَةٌ صَرِيْحَةٌ إلَى تَعَلُقِ النُفُوْسِ البَشَرِيَّةِ بِبِلادِها، وَإِلَى أَنَّ حُبَّ الوَطَنِ مُتَمَكِّنٌ فِي النُفُوْسِ وَمُتَعَلِقَةٌ بِهِ، لِأَنَّ اللهَ سُبْحانَهُ جَعَلَ الخُرُوْجَ مِنَ الدِّيَارِ وَالأَوْطانِ مُعَادِلاً وَمُقارِنًا قَتْلَ النَّفْسِ، فَكِلَا الأَمْرَيْنِ عَزِيْزٌ، وَلَا يُفَرِّطُ أغْلَبُ النَّاسِ بِذَرَّةٍ مِنْ تُرابِ الوَطَنِ مَهْمَا تَعَرَّضُوْا لِلْمَشَاقِّ والمَتَاعِبِ والمُضَايَقاتِ.

 

“Di dalam firman Allah “keluarlah dari kampung halaman kamu” terdapat isyarat yang jelas akan ketergantungan hati manusia dengan negaranya, dan (isyarat) bahwa cinta tanah air adalah hal yang melekat di hati dan berhubungan dengannya. Karena Allah SWT menjadikan keluar dari kampung halaman dan tanah air, setara dan sebanding dengan bunuh diri. Kedua hal tersebut sama beratnya. Kebanyakan orang tidak akan membiarkan sedikitpun tanah dari negaranya manakala mereka dihadapkan pada penderitaan, ancaman, dan gangguan.” (Wahbah Al-Zuhaily, Tafsir al-Wasith, Damaskus, Dar Al-Fikr, 1422 H, Juz 1, hal. 342).

 

Ada pula hadis yang berbunyi,

 

عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا قَدِمَ مِنْ سَفَرٍ فَنَظَرَ إِلَى جُدُرَاتِ الْمَدِينَةِ أَوْضَعَ نَاقَتَهُ وَإِنْ كَانَ عَلَى دَابَّةٍ حَرَّكَهَا مِنْ حُبِّهَا ……. وَفِي الْحَدِيثِ دَلَالَةٌ عَلَى فَضْلِ الْمَدِينَةِ وَعَلَى مَشْرُوعِيَّة حُبِّ الوَطَنِ والحَنِينِ إِلَيْهِ   :

 

“Diriwayatkan dari sahabat Anas Radiyallahu Anhu; bahwa Nabi ﷺ ketika kembali dari bepergian, dan melihat dinding-dinding Madinah beliau mempercepat laju untanya. Apabila beliau menunggangi unta maka beliau menggerakkannya (untuk mempercepat) karena kecintaan beliau pada Madinah. (HR. Bukhari, Ibnu Hibban, dan Tirmidzi).

 

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalany (wafat 852 H) dalam kitabnya Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari (Beirut, Dar Al-Ma’rifah, 1379 H, Juz 3, hal. 621), menegaskan bahwa dalam hadits tersebut terdapat dalil (petunjuk): pertama, dalil atas keutamaan kota Madinah; kedua, dalil disyariatkannya cinta tanah air dan rindu padanya.(Islam.nu.or.id)

 

Jadi mudik bukan sesederhana yang diduga oleh sebagian orang. Mudik bukan hanya perkara saling sapa antar sanak keluarga yang memang bisa diganti lewat pertemuan daring melalui gawai. Atau sekedar berbagi oleh-oleh khas Nusantara dari tempat rantau seperti Jipang (Bipang) Pasuruan dan makanan halal lainnya yang bisa diganti dengan mengirimkannya lewat jasa daring.

 

Mudik lebih dari sekedar itu semua. Mudik adalah pengejawantahan dari cinta tanah air karena di dalam mudik ada sebuah laku fitrah manusia yang ingin menapak kembali tanah kelahirannya, rumahnya, sudut-sudut kamar dan cengkerama sanak keluarganya  yang tidak akan bisa tergantikan dengan apapun.

 

Dan mudik adalah salah satu ikhtiar manusia agar tidak lupa pada akarnya, terutama darimana dia berasal. Dan bagi yang memiliki perenungan yang lebih dalam, mudik adalah simulasi bagaimana manusia pasti kembali ke asalnya yang hakiki yakni Allah SWT.

 

“Sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali.” (al-Baqarah 156). Dan inilah mudik sejati yang tiada seorang pun bisa menghalanginya. Wallahu A’lam Bis Showab. [ ]

 

*penulis tinggal di sebuah kampung di Pasuruan, Jawa Timur

Sumber: hidayatullah.com

 

5

Red: admin

Editor: iman

902