PERCIKANIMAN.ID – – Sudah menjadi sunnatullah bahwa setiap orang yang memasuki gerbang pernikahan pasti akan mendambakan sebuah rumah tangga yang bahagia. Rumah tangga bahagia yang dalam Islam disebut dengan keluarga sakinah merupakan pilar pembentukan masyarakat ideal yang dapat melahirkan keturunan yang saleh yang tumbuh dalam kehangatan, kasih sayang, kebahagiaan, dan ketenangan.
Keluarga sakinah adalah suatu gambaran keluarga yang harmonis dan ideal. Di dalamnya diisi oleh pribadi-pribadi yang saleh secara spiritual serta tercukupinya kebutuhan pokok berupa sandang, pangan, dan papan (tempat tinggal).
Namun, dalam kenyataan yang kita temukan, tidak semua harapan menjadi keluarga sakinah bisa terwujud. Alasannya berbagai faktor kehidupan selalu menggoda kita. Salah satunya, konflik keluarga, -khususnya suami dan istri- yang paling sering dianggap sebagai peretak yang membuat sirna harapan mereka untuk mencapai keadaan yang ideal.
Namun demikian, konflik di dalam keluarga adalah sesuatu hal yang tidak bisa dihindari. Satu-satunya yang bisa dilakukan adalah mengelola konflik tersebut dengan tepat sehingga tidak menimbulkan efek negatif atau dampak yang merusak.
Dalam konteks yang luas, konflik keluarga dipahami berdasarkan dua sudut pandang, yaitu tradisional dan kontemporer (Myers, 1993:234). Dalam pandangan tradisional, konflik dianggap sebagai sesuatu yang buruk yang harus dihindari.
Pandangan ini sangat menghindari adanya konflik karena dinilai sebagai faktor penyebab pecahnya suatu ikatan pernikahan. Bahkan, sering konflik dikaitkan dengan kemarahan, agresivitas, dan pertentangan, baik secara fisik maupun dengan kata-kata kasar. Tidak jarang, konflik keluarga berujung pada perceraian. Oleh karena itu, menurut pandangan tradisional, konflik haruslah dihindari.
Pandangan kontemporer mengenai konflik keluarga didasarkan pada anggapan bahwa konflik merupakan sesuatu yang tidak dapat dielakkan sebagai konsekuensi logis atas interaksi pasangan suami istri. Yang menjadi persoalan bukanlah bagaimana menghindari konflik, tapi bagaimana menanganinya secara tepat sehingga tidak merusak hubungan antar-pribadi, bahkan merusak tujuan pasangan hidup.
Konflik keluarga dianggap sebagai suatu hal yang wajar di dalam kehidupan berumah tangga. Konflik keluarga bukan dijadikan suatu hal yang destruktif, melainkan harus dijadikan suatu hal yang konstruktif untuk membangun rumah tangga yang harmonis.
Lantas, apa saja permasalahan yang kerap memicu konflik rumah tangga? Berikut tujuh hal yang dianggap memiliki andil besar dalam menimbulkan masalah rumah tangga.
Pertama, masalah ekonomi.
Perekonomian yang carut marut bisa menjadi penyebab dominan hilangnya keharmonisan rumah tangga, terlebih jika pasangan suami istri jauh dari rasa syukur. Perselisihan sering dipicu oleh tidak terpenuhinya kebutuhan hidup. Dalam beberapa kasus, perbedaan penghasilan antara suami dan istri (terutama bila penghasilan istri lebih besar) membuat istri lebih banyak menuntut suaminya.
Kedua, kurangnya komunikasi.
Komunikasi selalu menjadi resep utama dalam menyelesaikan konflik apa pun, termasuk dalam pernikahan. Saat kita membuat dinding batas dengan pasangan, secara otomatis kita menutup kemungkinan untuk menyelesaikan masalah ketika terjadi konflik. Padahal, dalam berumah tangga, setiap permasalahan tentunya harus dikomunikasikan dengan pasangannya terlebih dahulu. Jika komunikasi kurang, maka sudah hampir dapat dipastikan akan terjadi ketimpangan dalam rumah tangga. Hal tersebut juga bisa memicu salah satu pihak merasa tidak dihargai, atau kesalahpahaman yang terjadi terus menerus.
Ketiga, kebiasan buruk masing-masing pasangan.
Kebiasaan yang dimiliki istri atau kebiasaan yang ada pada suami tidak jarang menjadi pemicu pertengkaran-pertengkaran kecil. Meski berusaha saling memahami satu sama lain, pasti ada saja kebiasaan-kebiasaan yang saling bertentangan. Karenanya, jangan pernah berhenti mempelajari dan berusaha memahami pribadi suami atau istri.
Keempat, masalah anak.
Anak memang sering menjadi penyebab terjadinya konflik suami dan istri. Sebagian besar menilai bahwa tingkah laku dan kenakalan anak memang mendasari setiap kasus perselisihan. Suami atau istri kerap berbeda pandangan dalam menangani masalah anak sehingga tidak ada penyelesaiannya yang tuntas dan akhirnya terjadi konflik keluarga.
Kelima, masalah dengan keluarga besar.
Pihak keluarga lain juga dinilai sebagai pemicu terjadinya konflik antara suami dan istri. Mertua dan anggota keluarga lain sering menjadi penyebab terjadinya perselisihan antara suami dan istri jika mereka terlalu jauh ikut campur tangan. Hal tersebut kemungkinan besar bisa terjadi terutama bila mereka hidup dalam satu atap.
Keenam, masalah perbedaan latar belakang.
Hal ini meliputi perbedaan pemikiran, perasaan, kecenderungan, dan peran antara suami dan istri. Sejak awal, pernikahan adalah mempertemukan dua pribadi, dua jiwa, serta dua pemikiran, serta dua perasaan, dua kecenderungan yang tidak sama. Jika masing-masing tidak mencoba memahami latar belakang pasangannya, maka konflik rumah tangga akan segera melanda. Selain itu, perbedaan pengalaman hidup dan latar belakang kultur yang membentuk pribadi masing-masing pasangan juga menyumbang terjadinya konflik.
Ketujuh, masalah perselingkuhan.
Perselingkuhan memang sering dianggap sebagai klimaks konflik rumah tangga. Bagaimanapun juga, perselingkuan adalah faktor utama penyebab terjadinya perceraian. Wanita atau pria lain yang masuk ke dalam ranah keluarga menjadi masalah yang amat pelik. Sebagian besar keluarga yang menjalani poligami merasa lebih nyaman daripada mereka saling berselingkuh. Dengan kata lain, perselingkuhan bahkan juga menjadi faktor penyebab konflik bagi keluarga yang menjalani poligami.
Tujuan pernikahan salah satunya adalah untuk saling melengkapi. Kalau hanya ingin menerima kelebihan pasangan, sebaiknya jangan bermimpi untuk menikah, apalagi dapat mewujudkan keluarga sakinah. Hal ini tidak lain karena tidak akan ada manusia yang tanpa alfa. Pertahankan dan pupuklah cinta Anda dan jangan sekali-kali berpikir bahwa cinta itu akan abadi dan mewangi selamanya.
Cinta ibarat bunga, jika tidak disiram dan disemai tentu akan layu, kering, dan akhirnya mati. Begitulah cinta. Ia bisa hilang oleh waktu. Karena itu, jagalah cinta Anda dengan memahaminya, menerima kekurangannya, jujur, mempercayai, dan berdamai dengan masa lalu pasangan.Wallahu’alam. [ ]
5
Red: ali
Editor: iman
Ilustrasi foto: pixabay
760
Follow juga akun sosial media percikan iman di:
Instagram : @percikanimanonline
Fanspages : Percikan Iman Online
Youtube : Percikan Iman Online
Twitter: percikan_iman