Oleh: Ir. H. Bambang Pranggono, MBA.*
PERCIKANIMAN.ID – – Bulan Ramadhan diwajibkan bagi kaum muslimin untuk berpuasa selama sebulan penuh. Namun bagi sebagian golongan boleh tidak berpuasa, seperti yang Allah tegas dalam Al Quran,
…فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۖ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۗ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ….
“...Siapa pun di antaramu berada di negeri tempat tinggalnya pada bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa. Jika tidak berpuasa karena sakit atau dalam perjalanan, kamu wajib menggantinya pada hari lain sebanyak hari yang ditinggalkannya itu. Allah menghendaki kemudahan dan tidak menghendaki kesukaran bagimu…” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 185)
Dalam tafsir Jami’ul Ahkam, Al-Qurthuby membahas bahwa dalam potongan ayat tersebut ada 21 permasalahan. Dari jumlah minimal orang yang dianggap sah menyaksikan datangnya bulan Ramadhan, keharusan shaum atau tidaknya orang yang memulai perjalanan di awal atau ditengah bulan Ramadhan, hukum orang yang tiba-tiba gila di pertengahan bulan Ramadhan, sampai bagaimana kewajiban shaum bagi orang yang masuk Islam di hari terakhir Ramadhan.
Memang, para ulama mujtahidin sejak dulu sudah mencoba membayangkan bermacam-macam kasus yang mungkin terjadi di zamannya sehubungan pelaksanaan puasa. Namun, tentang shaum di angkasa luar tentu belum terpikirkan pada saat itu. Padahal, kini hidup di luar bumi sudah menjadi kenyataan.
Teknologi sudah mengantar manusia keluar atmosfer dalam kapsul ruang angkasa mengelilingi Bumi. Dan ternyata, ada sembilan astronot muslim yang pernah terbang ke antariksa sejak 1985. Diawali oleh Sultan Salman al-Saud dari Saudi Arabia, Muhammad Fariz dari Syria, Musa Manarov dan Toktar Aubakirov dari Sovyet Uni, Abdul Ahad Mohmand dari Afganistan, Talgat Musabayev dari Kazakhstan, Salizhan Sharipov dari Kyrgyzstan, Anousheh Ansari dari Iran, dan Sheikh Muzaffar Syukur dari Malaysia pada Oktober 2007.
Sebagai muslim mereka harus tetap menjalankan ibadah wajib di mana pun berada, tidak terkecuali ibadah shaum di bulan Ramadhan, terutama bagi astronot muslim yang taat beribadah. Astronot Muzaffar Syukur, seorang dokter ahli bedah orthopedi warga Malaysia yang juga foto model, mengkisahkan tentang pelaksanaan ibadatnya selama berada di stasiun ruang angkasa Soyuzmilik Rusia.
Betapa sulitnya untuk tetap menghadap kiblat ketika shalat meski hanya dua rakaat karena arah Ka’bah berubah terus dengan cepat. Bukan Mekkah yang berpindah pindah, tetapi pesawat ruang angkasanya yang bergerak cepat. Berwudlu dengan air jelas mustahil karena butir-air air akan melayang layang.
Tentang ibadah shaum, Muzaffar sempat melaksanakannya dua hari karena kebetulan dia mengorbit diakhir bulan Ramadhan. Problem makan sahur dan berbuka puasa cukup rumit karena matahari terbit 16 kali sehari atau tiap 90 menit.
Setahun sebelumnya, yaitu pada 2006, Badan Antariksa Malaysia (ANGKASA) bekerja sama dengan Department of Islamic Development Malaysia (JAKIM) mengadakan Seminar on Islam and Living in Space. Seminar tersebut menghasilkan sebuah pedoman 18 halaman bagi muslim untuk menjalankan ibadah di antariksa, Guidelines for Performing Islamic Rites at International Space Station.
Dinyatakan di situ bahwa walaupun berada di luar angkasa, muslim tetap dapat menjalankan ibadah. Hanya, perlu beberapa penyesuaian terkait kondisi antariksa yang berbeda dengan Bumi. Shalat, termasuk tarawih harus dilakukan sendiri jika tak ada muslim lain dalam misi antariksa yang sama.
Kondisi antariksa dengan gravitasi rendah kadang mempersulit muslim untuk berdiri tegak, rukuk, dan bersujud seperti di Bumi. Karenanya, muslim di antariksa diperbolehkan shalat dengan posisi duduk atau tidur telentang. Umat muslim juga harus wudhu sebelum shalat. Karena kondisi minim air, muslim di antariksa bisa melakukan tayamum untuk menggantikan wudhu.
Arah shalat harus menghadap ke kiblat. Di antariksa, muslim juga bisa menghadap kiblat bila mengetahui betul arah kiblat. Bila tidak, muslim bisa shalat dengan menghadap ke Bumi. Bila tak paham atau sulit juga menentukan arah Bumi, dia bisa shalat menghadap ke mana saja. Untuk shalat wajib, Muslim juga bisa menjalankan shalat lima waktu dan tetap berhak untuk melakukan jamak (menggabungkan) atau qasar (menyingkat) bila punya halangan tertentu. Sementara itu, waktu-waktu shalat wajib mengikuti waktu shalat tempat peluncuran misi antariksa.
Tentang shaum, maka muslim juga tetap bisa melakukannya. Waktu penetapan awal Ramadhan tidak lagi dengan mengintip bulan sabit, sebab wujud bulan dari ketinggian di atas sana tentu berbeda, malahan bisa jadi bulan purnama. Maka, awal dan akhir Ramadhan ditetapkan mengikuti tempat peluncuran pesawat.
Waktu sahur, imsak, puasa, dan berbuka juga mengikuti waktu yang sama dengan tempat peluncuran. Dalam hal ini, Muzaffar mengikuti waktu sahur dan berbuka Kazakhstan. Dan, dia merayakan Idul Fitri sendirian di dalam kapsul antariksa itu.
Ternyata Al-Qur’an 15 abad yang lalu sudah mengantisipasi masalah ini, bahwa mereka yang dalam perjalanan –termasuk tentunya ke angkasa luar– bisa memilih tetap shaum atau menggantinya dengan hari yang lain setelah pulang ke Bumi. Masalah selanjutnya yang perlu dijawab adalah bagaimana shaum bagi astronot muslim yang menjelajah angkasa ke planet lain dan menetap di sana?. Wallahu a’lam. [ ]
*Penulis adalah seorang pendidik, pegiat dakwah dan penulis buku.
5
Red: admin
Editor: iman
900