PERCIKANIMAN.iD – – Kontroversi pembagian minuman beralkohol kepada peserta ajang lari Pocari Run 2025 di Kota Bandung mendapat respons keras dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Barat. Organisasi keagamaan tersebut menganggap insiden yang terjadi beberapa hari lalu bukan sekadar kesalahan prosedural, melainkan persoalan fundamental yang berkaitan dengan nilai-nilai keagamaan.
Sekretaris MUI Jawa Barat, KH Rafani Achyar, menyuarakan keprihatinan mendalam atas kejadian tersebut. Menurutnya, pembagian bir dalam event olahraga nasional ini tidak hanya bertentangan dengan norma agama, tetapi juga menciptakan kebingungan di tengah masyarakat, khususnya umat Islam yang menjadi mayoritas peserta.
“Kalau soal membagikan bir, itu satu tindakan yang salah menurut saya. Itu tidak boleh terjadi sebetulnya, walaupun ada yang mengklaim bir itu di bawah 20 persen kadar alkoholnya,” tegas Kyai Rafani dalam keterangannya.
Ulama senior ini menegaskan bahwa dalam perspektif Islam, konotasi dan persepsi masyarakat terhadap suatu produk sangat penting diperhatikan. Meskipun kadar alkohol dalam bir mungkin rendah, namun produk tersebut tetap memiliki stigma sebagai minuman keras yang diharamkan.
“Tapi tetap aja bir itu sudah punya konotasi minuman keras, jadi nggak boleh. Dalam Islam, sesuatu yang sudah punya konotasi yang diharamkan itu nggak boleh,” lanjutnya dengan tegas.
Rafani menjelaskan konsep syubhat dalam hukum Islam, yaitu hal-hal yang masih abu-abu atau meragukan secara hukum. Menurutnya, umat Islam diajarkan untuk menjauhi perkara-perkara semacam ini sebagai bentuk kehati-hatian dalam beragama. Ia memberikan contoh konkret mengenai produk makanan dengan nama-nama ekstrem yang pernah populer di masyarakat.

“Baksonya mungkin halal, tapi kalau namanya pakai setan, itu sudah jelas musuh. Dalam Al-Qur’an setan itu musuh yang nyata, dan perlakukanlah sebagai musuh. Sama halnya dengan bir, meskipun mungkin kadar alkoholnya rendah, tetap aja haram diminum itu karena sudah punya konotasi haram,” jelasnya.
Kritik MUI Jabar tidak hanya terhenti pada isu pembagian bir, tetapi meluas pada konsep penyelenggaraan event yang dinilai terlalu komersial. Rafani menyayangkan dominasi nama brand perusahaan dalam acara tersebut, yang menurutnya mengaburkan identitas lokal sebagai tuan rumah.
“Mestinya acara lari itu bukan mengatasnamakan perusahaan. Namanya kan Pocari Run, seharusnya yang dikedepankan itu nama kota, misalnya Bandung Run atau Jawa Barat Run. Di mana-mana juga gitu, seperti Borobudur Marathon,” ujar Kyai Rafani.
Ia menilai pemerintah daerah perlu lebih assertif dalam menjaga marwah dan identitas regional dalam event-event berskala besar. Kondisi saat ini dinilai seolah-olah pemerintah daerah dimanfaatkan oleh korporasi untuk kepentingan branding semata.
“Ini kan seolah-olah perusahaan mengeksploitasi pemerintah daerah. Fasilitas pemerintah dipakai, tapi malah dominasi brand,” ungkapnya dengan nada kritis.
Keprihatinan lain yang disampaikan Rafani berkaitan dengan aspek spiritual dalam pelaksanaan event olahraga. Ia menyoroti waktu penyelenggaraan yang dimulai menjelang subuh, dimana seharusnya umat Islam sedang mempersiapkan diri untuk menunaikan salat subuh.
“Saya prihatin, menjelang subuh orang sudah berbondong-bondong di jalan untuk ikut lari. Saya tidak tahu apakah mereka salat dulu atau tidak. Tapi kenyataannya seperti itu, dan mayoritas peserta itu kan muslim. Olahraga itu boleh, tapi kalau sampai mengorbankan salat, jelas tidak boleh,” kata Kyai Rafani.
Merespons pernyataan Wali Kota Bandung Farhan yang menilai insiden pembagian bir tidak menimbulkan dampak signifikan, Rafani memberikan pandangan yang berbeda. Menurutnya, sudut pandang semacam itu terlalu menyederhanakan persoalan dan mengabaikan dimensi keagamaan yang lebih substansial.
“Iya mungkin dampak langsung sih tidak ada. Tapi kalau sampai ada pembagian bir segala macam itu, ya menurut saya dampaknya sangat prinsipil. Orang awam nanti bisa menganggap bir itu sebagai minuman biasa. Padahal dari sisi kesadaran keagamaan, ini merusak,” jelasnya.
Rafani mengakhiri pernyataannya dengan peringatan tentang kondisi keberagamaan masyarakat yang menurutnya semakin mengkhawatirkan. Ia melihat adanya kecenderungan pencampuradukan dalam berbagai aspek kehidupan beragama yang dapat mengikis kesadaran spiritual masyarakat.
“Pola pikir keagamaan masyarakat sekarang ini sudah pabaliut, sudah kusut, sudah campur-campur. Makanan dicampur-campur, minuman dicampur-campur, pandangan keagamaan juga campur-camur. Hari ini mau dibawa ke mana?,” tutup Kyai Rafani dengan nada prihatin.
Kontroversi ini menunjukkan pentingnya dialog antara penyelenggara event, pemerintah daerah, dan tokoh agama dalam merancang kegiatan publik yang dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat, terutama di daerah dengan mayoritas muslim seperti Jawa Barat.[ ]
5
Red: admin
Editor: iman
908