Mengedepankan Ihsan

0
8
Al Ihsan
ilustrasi foto: istimewa

 

Oleh: Prof. Dr. Miftah Faridl*

*Penulis adalah Ketua Umum MUI Kota Bandung

PERCIKANIMAN.iD – – Istilah “Ihsan” menghangat pada beberapa hari terakhir ini. Bukan karena baru, tapi karena digunakan untuk menamai salah satu fasilitas publik, dan diganti dengan bahasa lokal untuk kepentingan tetentu. Menghangat, karena pergantian itu memicu kontroversi orang banyak. Menjadi semakin menghangat ketika istilah itu dikaitkaitkan dengan dimensi agama yang dipeluk mayoritas penduduk di tempat fasilitas itu berdiri. Orang pun banyak yang berusaha mencari asal muasal istilah itu, dan mencari tahu apa hubungannya dengan egama keyakinan seseorang.

 

Sekurang-kurangnya sebelas kali Allah menggunakan kata “ihsan” dalam AlQur’an untuk menyebut perbuatan yang baik. Dua di antaranya memakai “alif-lam”, al-ihsan, yaitu pada surah al-Rahman ayat ke-60 dan surah al-Nahl ayat ke-90. Bila diterjemahkan, keduanya berarti kebaikan atau kebajikan. Yang pertama Allah menjelaskan: “Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula).” Sedang yang kedua, penjelasan itu berbunyi: ”Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan (ihsan), memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemunkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”

 

Demikian pula dalam sembilan ayat lainnya, kata “ihsan” diterjemahkan menjadi suatu kebaikan dan perbuatan baik. Bahkan ayat ke-83 dari surah al-Baqarah, “ihsan” digunakan sebagai pengganti kata berbuat baik kepada kedua orang tua, sebagaimana dalam firman-Nya: “Janganlah kamu menyembah sesuatu selain Allah, dan berbuat baiklah (ihsan) kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat.”

 

Pada ayat tersebut, Allah menyebut “ihsan” sejajar dengan larangan berbuat syirik, perintah berbuat baik kepada orang tua dan kaum kerabat, berbuat baik kepada fakir miskin dan anak-anak yatim, mengucapkan kata-kata yang baik kepada sesama manusia, serta mendirikan shalat dan menunaikan zakat. Secara sederhana dapat dipahami bahwa konsep “ihsan” adalah sama dan sebangun dengan konsep akhlak, baik akhlak kepada Sang Pencipta, maupun akhlak kepada sesama manusia.

 

Kata “ihsan” kemudian menjadi kontroversi ketika digunakan untuk melabeli sesuatu karya manusia. Terlepas dari kontroversi seperti itu, ihsan tetap bermakna luhur sebagai derajat penyempurna amal seorang pemeluk Islam. Suatu ketika Jibril bertanya kepada Rasulullah tentang iman, Islam, dah ihsan. Setelah Nabi menjelaskan tentang iman dan Islam, Jibril pun bertanya, ”Apakah ihsan itu?” Lalu Nabi menjelaskannya, ”Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat Dia, dan apabila engkau tidak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.”

 

Makna inilah yang selanjutnya menjadi definisi “ihsan” yang kemudian sangat populer digunakan, baik dalam kehidupan maupun hanya sebatas sumber referensi.Secara implisit makna tersebut mengisyaratkan pentingnya ikhlas sebagai faktor utama dalam beramal, seperti terungkap pada kalimat “seakan-akan engkau melihat Dia, dan apabila engkau tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.”

 

Kunci Ketulusan dalam Berbuat

Pendeknya, dapat pula diartikan bahwa faktor “ihsan” harus selalu hadir menyertai setiap motif dan seluruh perilaku manusiawi. Ihsan sejatinya menjadi napas dan inspirasi dari keseluruhan amal manusia, bersenyawa dengan jenis pekerjaan dan profesi apapun. Karena itu, ihsan adalah juga pengendali motif-motif insani yang mendasari keseluruhan tindakan aktivitas yang dilaluinya setiap saat.

 

Itulah sebabnya, ketika berdialog dengan Rasulullah, Jibril menempatkan pertanyaan tentang ihsan ini pada urutan terakhir setelah iman dan islam. Ihsan dalam hal ini menjadi dimensi penggenap amal setelah seseorang menyatakan keimanan dan melaksanakan serangkaian ajaran seperti disyariatkan Islam. Ihsan merupakan kekuatan moral yang menyempurnakan setiap tindakan.

 

Dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi serta budaya masyarakat saat ini, kita perlu menghidupkan kembali spirit ihsan yang mungkin telah mati, sehingga tidak ada lagi kebijakan, program, dan tindakan yang hanya berorientasi pada kepentingan pribadi ataupun kelompok. Semuanya merupakan implementasi pengabdian hanya kepada-Nya untuk mewujudkan kebaikan.

Kita tidak cukup hanya menjadi seorang pemeluk agama. Beragama saja tidak cukup. Beragama (Islam) itu harus pula diikuti oleh sikap ihsan. Demikianlah, Allah menjelaskan bahwa: ”(Tidak demikian) bahkan barang siapa yang menyerahkan diri (ber-Islam) kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan (ber-ihsan), maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati” (QS, 2: 112).

 

Dalam kerangka inilah, kerja-kerja kemanusiaan, termasuk usaha mencari nafkah seperti petani berladang di sawah, pedagang pergi ke pasar, karyawan bekerja di kantor, guru mengajar di sekolah, atau pemerintah melayani rakyatnya, dapat dinilai sebagai perbuatan ibadah. Ibadah menjadi demikian luas maknanya dan demikian banyak bentuknya. Karena itu, bukan sesuatu yang menyulitkan bila tugas manusia memang hanya untuk beribadah, yaitu ibadah dalam cakupan makna yang sangat luas seperti terungkap di atas.

 

Dengan demikian, ihsan merambah segala ikhtiar yang mencakup seluruh dimensi kehidupan, baik dimensi ritual maupun dimensi sosial. Ihsan harus hadir dalam setiap tindakan. Dalam shalat, misalnya, ihsan akan meluruskan motivasi dan kekhusukan; dalam zakat, ihsan akan menjadi identitas pengabdian terhadap sesame manusia untuk tulus menolong kaum yang lemah, menjalin ukhuwah, sekaligus membangun solidaritas dengan sesama. Demikian pula dalam menjalankan roda kekuasaan, ihsan sejatinya tetap hadir sebagai kekuatan moral yang dapat menggerakkan seluruh potensi spiritual manusia untuk berbuat hanya karena Allah, bukan karena alasan popularitas, ataupun alasan pragmatisme lainnya.

 

Demikian pula sebaliknya, dimensi sosial selalu menyertai ihsan karena pada gilirannya ia akan melibatkan proses hubungan antar sesama manusia sebagai makhluk sosial yang satu sama lain saling membutuhkan. Jadi, dalam hubungan seperti itulah, ihsan akan terlibat bersama-sama dengan iman dan Islam yang telah menjadi keyakinan para pelakunya. Di sinilah ihsan menjadi potret sempurnanya akhlak. Yaitu Kebajikan yang telah mentradisi dalam setiap perilaku, memberikan nuansa moral dalam setiap amal, dan menjadi alat kontrol dalam setiap pengambilan keputusan.

 

Tidak ada ruang sedikitpun dalam beramal untuk memanjakan apapun selain Tuhan. Dalam proses kekuasaan, rakyat hanyalah jembatan yang menghubungkan penguasa dengan Tuhannya. Kekuasaan yang sifatnya sangat sementara juga tidak lebih dari sekedar fasilitas pengabdian hanya kepada-Nya, bukan untuk mendapatkan penghargaan ataupun pujian dari rakyatnya, dan bukan pula untuk kepentingan pencitraan di hadapan masyarakatnya.

 

Ihsan akan membimbing kita untuk memperoleh kesempurnaan citra dihadapan Tuhan. Karena itu, berbuatlah dengan tulus, hindari motif-motif pragmatism yang hanya akan mengorbankan kepentingan orang banyak. Berihsanlah dalam segala bentuk perbuatan, termasuk dalam menjalankan roda kekuasaan. Wallahu’alam bishshawab. [ ]

5

Red: admin

Editor: iman

980