Oleh: KH.Drs.Abdurrahman Rasna,MA*
Khutbah Pertama:
الحمد لله الملك المنان ذي السُّلْطَانِ،
الحَلِيْمِ اْلكَرِيْمِ الرَحِيْمِ الرَّحْمَنِ،
اْلمُحِيْطِ عِلْمَاٍ بِمَا يَكُوْنُ وَمَا كَانَ،
يُعِزُّ وَيُذِلُ، ويُفْقِرُ وَيُغْنِي، كُلَّ يَوْمٍ هُوَ فِيْ شَأْنٍ
أَحْمَدُهُ عَلَى الصِّفَاتِ اْلكَامِلَةِ اْلحِسَانِ، وَأَشْكُرُهُ عَلَى نِعَمِهِ وَبِالشُّكْرِ يَزِيْدُ اْلعَطَاءَ وَاْلاِمْتِنَانَ
وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلاَّ اللهَ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ المَلِكُ الدَّيَّان، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ اْلمَبْعُوْثُ إِلَى اْلإِنْسِ وَاْلجَانِّ
صَلَّى اللهُ وسلم عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَالتَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ مَا تَوَالَتِ اْلأَزْمَانُ،
اَمَّا بَعْدُ، فَيَااَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، اِتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِه وَلاَتَمُوْتُنَّ إِلاَّوَأَنـْتُمْ مُسْلِمُوْنَ فَقَدْ قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِي كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ: الْيَوْمَ نَخْتِمُ عَلَى أَفْوَاهِهِمْ وَتُكَلِّمُنَا أَيْدِيهِمْ وَتَشْهَدُ أَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
معاشر المسلمين رحمكم الله
Atas segala karunia yang telah Allah anugerahkan kan kepada kita, matilah Puji dan syukur kita persembahkan kepada pemilik hak atas segala puji, yaitu Allah Robbul ‘aalamiin.
Shalawat dan salam kita haturkan kepada Junjunan kita Nabi Besar Muhammad Shalallahu alaihi wasallam, beserta keluarga, para sahabat dan semua pengikut setianya, serta mudah2an kita menjadi ummatnya yang setia mengikuti ajarannya hingga kita pantas mendapat syafaatnya. Aamiin.
Sebagai khatib Jum’at hari ini mengajak kita sekalian untuk meningkatkan ketaqwaan kita dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Persoalan pemimpin dalam Islam sangat krusial. Ia dibutuhkan dalam masyarakat atau komunitas bahkan dalam lingkup yang sangat kecil sekalipun. Termasuk dilalangan millenial. Adanya pemimpin mengandaikan adanya sistem secara lebih terarah. Tentu saja pemimpin di sini bukan seseorang dengan otoritas mutlak. Ia dibatasi oleh syarat-syarat tertentu yang membuatnya harus berjalan di atas jalan yang benar.
Dalam salah satu hadits yang sanadnya Dari Abu Hurairah, Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam pernah bersabda:
إِذَا كَانَ ثَلاَثَةٌ فِي سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوا أَحَدَهُمْ
Artinya: “Bila ada tiga orang bepergian, hendaknya mereka mengangkat salah seorang di antara mereka menjadi pemimpinnya.” (HR Abu Dawud).
Dalam Hadits tersebut terdapat pesan bahwa kepemimpinan adalah hal penting dalam sebuah aktivitas bersama. Perjalanan tiga orang saja bisa dikatakan adalah kegiatan yang dilakukan oleh tim kecil. Artinya, perintah Nabi Shalallahu alaihi wasallam tersebut tentu lebih relevan lagi bila diterapkan dalam konteks komunitas yang lebih besar, mulai dari tingkat rukun tentangga (RT), rukun warga (RW), desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, hingga negara. Juga ada lingkup-lingkup aktivitas lainnya yang memperlukan kebersamaan.
Hadirnya pemimpin membuat kerumunan massa menjadi jamaah yang terorganisasi : ada gagasan, visi dan misi, ada tujuan, pembagian peran, dan aturan yang ditegakkan bersama.
Bisa dibayangkan seandainya sebuah wilayah dengan populasi yang banyak tanpa pemimpin. Tentu kekacauan akan ada di mana-mana karena kehidupan sosial tidak terkontrol, kejahatan tanpa sanksi, dan sumber daya alam tidak terkelola secara tertib.
Tak heran jika ada pendapat yang mengatakan bahwa pemimpin yang zhalim lebih baik daripada tanpa kepemimpinan. Tentu ini bukan hendak memberikan toleransi terhadap karakter pemimpin yang sewenang-wenang melainkan petunjuk betapa pentingnya mengangkat pemimpin dalam Islam.
Imam Al-Ghazali menganggap pentingnya pemimpin dengan kelestarian agama sebagai berikut :
المُلْكُ وَالدِّيْنُ تَوْأَمَانِ فَالدِّيْنُ أَصْلٌ وَالسُّلْطَانُ حَارِسٌ وَمَا لَا أَصْلَ لَهُ فَمَهْدُوْمٌ وَمَا لَا حَارِسَ لَهُ فَضَائِعٌ
Artinya: “Kekuasaan dan agama merupakan dua saudara kembar. Agama sebagai landasan dan kekuasaan sebagai pengawalnya. Sesuatu yang tidak memiliki landasan pasti akan tumbang. Sedangkan sesuatu yang tidak memiliki pengawal akan tersia-siakan.”
(Abu Hamid al-Ghazali, Ihyâ Ulumiddin, tt, Beirut: Darul Ma’rifah, Juz 1, h. 17).
معاشر المسلمين رحمكم الله
Dengan demikian, kita sebagai Millenial Muslim sekaligus warga negara yang baik punya tanggung jawab untuk mengangkat pemimpin. Dalam sistem pemilihan umum yang dianut di Indonesia, partisipasi masyarakat dalam memilih sangat signifikan. Karena Pilihan mereka menentukan kualitas kepemimpinan di masa-masa yang akan datang
Pertanyaannya adalah pemimpin seperti apa yang mesti kita pilih?
Sebagaimana kita tahu bahwa dalam diri Baginda Rasulullah saw, kriteria pemimpin setidaknya memiliki empat karakter, yakni shiddiq (jujur), amanah (bertanggung jawab dan dapat terpercaya), tabligh (aspiratif dan dekat dengan rakyat), fathanah (cerdas, visioner). Inilah sifat-sifat ideal yang mesti ada dalam diri pemimpin, di mana pun levelnya, apa pun jenis institusinya.
Kita bisa saja pesimis terhadap pilihan-pilihan yang ada di tengah-tengah kehidupan kita karena tidak memenuhi idealitas empat kriteria tadi. Tapi keputusan untuk diam sama sekali, misalnya dengan menjadi golput, jelas tidak lebih baik. Sebab, umat tidak dipaksa memenuhi idealitas ketika hal itu tidak memungkinkan, tapi ia berkewajiban berikhtiar membuat pilihan yang “paling ideal” di antara orang-orang yang tak ideal. Atau dengan bahasa lain, memilih terbaik di antara yang terburuk.
معاشر المسلمين رحمكم الله
Lantas dari mana Millenial mengetahui kriteria-kriteria itu?
Pertama, cara paling mudah adalah dengan melihat rekam jejaknya.
Sebagai rakyat yang bakal dipimpin, pemilik hak suara mesti aktif mencari tahu tentang kualitas calon pemimpin yang hendak mereka pilih. Sebab, sikap pasif tidak hanya membuat seseorang buta informasi tapi juga mudah dibohongi, bahkan diadu-domba.
Pada tahun 2012, Para alim Ulama salah satu ormas berMusyawarah mendiskusikan persoalan ini yang menghasilkan kesimpulan tidak boleh mencalonkan diri, dicalonkan, dan dipilih untuk menduduki jabatan publik (urusan rakyat/umat), orang yang terkena satu di antara beberapa hal berikut :
(1) terbukti atau diduga kuat pernah melakukan korupsi,
(2) mengabaikan kepentingan rakyat,
(3) cenderung memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan pribadi,
(4) gagal dalam melaksanakan tugas-tugas jabatan sebelumnya.
Yang menjadi Dasar tentang hal ini sangat jelas :
إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ ۚ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil...” (QS. An-Nisa: 58)
Kedua,cara calon pemimpin untuk naik ke kursi kepemimpinan.
Secara ideal pemimpin tidak dianjurkan mencalonkan atau mengajukan dirinya sendiri, melainkan dicalonkan atau diajukan oleh masyarakat. Namun, bila hal ini tidak terlaksana, setidaknya ia menggunakan cara-cara bersih dalam menunaikan proses pencalonan, sosialisasi, kampanye, hingga prosedur pemilihan yang disepakati bersama.
Calon pemimpin wajib mengedepankan watak kejujuran (shiddiq) karena ini bekal paling mendasar dalam mewujudkan tata pemerintahan yang bersih nanti.
Kejujuran tersebut diaplikasikan mulai dari tidak melakukan politik uang (risywah), tidak membual dengan janji-janji palsu, dan sejenisnya. Juga menandakan sebagai pribadi yang amanah, tidak menyeleweng dari tanggung jawab. Pemimpin memang memiliki hak politik, kewenangan-kewenangan, tapi jangan lupa bahwa ia juga memiliki tanggung jawab untuk berbuat adil dan berpihak pada kesejahteraan umum.
Calon pemimpin yang baik adalah mereka yang aspiratif terhadap cita-cita rakyat (tabligh). Ia dekat dengan masyarakat, mau bertukar pikiran (musyawarah), dan peduli terhadap kepentingan publik. Pemimpin yang mencintai rakyat dan dicintai oleh rakyatnya
يحبهم و يبحبونه
Tindak lanjut dari hal ini terencananya program-program dan gagasan-gagasan bermanfaat yang hanya bisa dilakukan oleh pemimpin-pemimpin yang visoner dan cerdas (fathanah).
Bila sejak pencalonan saja, seseorang terindikasi kuat bakal menyalahgunakan wewenang—misalnya dengan money politics—rakyat yang memilih calon tersebut sejatinya sedang berbuat zhalim.
Pertama, zhalim kepada dirinya sendiri karena menjatuhan dirinya pada “politik dagang sapi”.
Kedua, zhalim kepada orang lain sebab ia mengorbankan masa depan kepentingan publik dengan memilih calon pemimpin yang kotor.
Ibnu ‘Asyur dalam kitab tafsir at-Tahrîr wat Tanwîr, mengutip pernyataan Imam Fahruddin ar-Razi, mengatakan:
قَالَ الفَخْرُ : إِنْ أَرَادَ الرَّعِيَّةُ أَنْ يَتَخَلَّصُوا مِنْ أَمِيْرٍ ظَالِمٍ فَلْيَتْرَكُوْا الظُّلْمَ
Artinya: “Jika rakyat ingin terbebas dari pemimpin yang zhalim maka ia harus meninggalkan perbuatan zhalim itu sendiri.”
Pernyataan ini dilontarkan saat beliau menafsirkan ayat:
وَكَذَلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Artinya: “Dan demikianlah kami jadikan sebagian orang yang zalim sebagai pemimpin bagi sebagian yang lain disebabkan amal yang mereka lakukan.” (QS. Al-An’am: 129).
معاشر المسلمين رحمكم الله
Partisipasi masyarakat dalam hal kepemimpinan amatlah penting, dan lebih penting lagi adalah cerdas memilih calon pemimpin yang benar-benar berpihak kepada kemaslahatan orang banyak. Hal itu tentu tak akan terwujud bila tidak dimulai dari diri kita sendiri. Sekali lagi, “Jika rakyat ingin terbebas dari pemimpin yang zhalim maka ia harus meninggalkan perbuatan zhalim itu sendiri.”
Semoga pemilihan umum di Indonesia, di mana pun berada, berjalan dengan aman, damai, adil, dan jujur. Dan Kita sebagai warga negara semoga dapat memberikan hal terbaik bagi bangsa dan negara ini. Termasuk cerdas dalam memilih calon pemimpin.
بَارَكَ الله لِي وَلَكُمْ فِى اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَافِيْهِ مِنْ الآيَات وَالذِكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّي وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ وإِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ، وأَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا فَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ. إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْم
Khutbah Kedua:
اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى إلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا
أَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَا وَاإنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ
*penulis adalah anggota Komisi Dakwah MUI Pusat dan anggota Bidang Dakwah PB MA serta dosen di Banten
5
Red: admin
Editor: iman
896