Hukum Membaca Surat Al-Fatihah Saat Shalat Berjamaah, Begini Pandangan Para Imam Mujtahid

0
867
Shalat berjamaah (ilustrasi foto: pixabay)

 

Oleh: KH.Drs. Abdurrahman Rasna,MA.*

 

PERCIKANIMAN.ID – –  Saat posisi kita sebagai Imam bagaimana menyikapi bagi jamaah yang ternyata diwilayahnya mereka membaca alfatihah? Apakah setelah imam membaca? Sebagian jamaah saat shalat Jumat membaca Al-Fatihah pada saat imam selesai membaca Al-Fatihah langsung membaca surat lain?

 

 

Untuk  menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut diatas berikut ini penjelasannya. Menurut pendapat Ibnu  Najim dan Jalaluddin as Suyuthy dalam Al asybah wan Nazhoir :

استفت قلبك وان افتاك المفتون

 

 

(Istafti qolbaka Wa in aftaakal muftuun/mintaken fatwa kepada hatimu sekalipun para pemberi fatwa telah memberikan fatwa).

 

 

Terus bagaimana sikap kita jika posisi kita Imam dalam memberikan Jedah agar makmum bisa mendapatkan Al-fatihah pada rakaat dg bacaan jahir

 

 

Maka sebagian imam dalam shalat jahr (yang bacaannya dikeraskan) seperti Maghrib، Isya dan Shubuh setelah membaca al-Fatihah segera membaca surat yang lain setelahnya dan tidak memberikan kesempatan bagi makmum untuk membaca al-Fatihah. Maka apa yang Anda nasehatkan terhadap seorang imam yang melakukan hal itu? Dan apa kewajiban makmum jika tidak membaca al-Fatihah pada dua rakaat yang pertama?

 

Jawaban:

 

Adapun para imam yang berbuat demikian dan tidak diam di antara bacaan al-Fatihah dan bacaan surat yang ada setelahnya, maka bisa jadi perbuatan itu timbul dari mereka dengan tidak sengaja atau sengaja.

 

 

Namun seringnya dengan sengaja dikarenakan hadits Samurah dalam menetapkan kedua saktah (diam sejenak), salah satunya setelah bacaan al-Fatihah diperselisihkan para ulama tentang keshahihannya.

 

 

Diantara ulama ada yang menilainya shahih dan mengamalkannya serta mengatakan: Sesungguhnya imam hendaknya segera diam setelah membaca al-Fatihah. Diam yang disebutkan ini adalah diam yang mutlak, tidak dibatasi sebagaimana dibatasi sebagian ahli fikih seukuran makmum membaca al-Fatihah akan tetapi diam ini adalah diam yang mutlak untuk memisahkan antara bacaan yang wajib dan yang sunnah.

 

 

Sementara ulama yang lainnya tidak menilainya sebagai hadits yang shahih dan berpendapat: seyogyanya menyambung bacaan setelah al-Fatihah.

 

 

Jadi, tidak mungkin kita melarang seseorang yang mengamalkan limited ilmunya setelah memeriksa dan berijtihad (mengambil kesimpulan hukum).

 

 

Hanya saja hadits ini menurut pendapat saya sebagai dalil sebagaimana ditegaskan al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari ketika mengatakan: Sesungguhnya telah shahih dari Nabi صلى الله عليه وسلم diam sejenak ini dan ini terkait dengan imam.

 

 

Adapun terkait dengan makmum, maka makmum membaca al-Fatihah meskipun imam membacanya menurut pendapat yang saya pilih. Berdasarkan keumuman sabda Nabi صلى الله عليه وسلم: Tidak sah shalat bagi orang yang tidak membaca al-Fatihah

 

 

Hadits ini tercantum dalam dua kitab shahih dan lainnya.

 

Begitu pula dalam hadits ‘Ubadah bin Shamit dalam kitab Sunan: Bahwasannya Nabi صلى الله عليه وسلم pernah mengimami shalat Shubuh lalu berpaling dan bersabda: Barangkali kalian membaca surat di belakang imam kalian? Mereka menjawab: Ya. Beliau bersabda: Jangan kalian lakukan lagi kecuali membaca al-Fatihah karena tidak sah shalat bagi orang yang tidak membacanya.

 

 

Hadits ini dengan jelas menunjukkan bahwa makmum membacanya meskipun dalam shalat yang jahr karena shalat yang dilakukan ini adalah shalat Shubuh yang merupakan shalat yang Jahr. Sehingga hadits ini menegaskan bahwa makmum membaca al-Fatihah meskipun imam membacanya. Didukung pula dengan keumuman hadits yang kami tunjukkan sebelumnya.

 

 

Jadi, atas dasar ini uwa mau sampaikan untuk makmum: hendaknya membaca al-Fatihah, lalu jika makmum menyelesaikannya sebelum imam mulai membaca surat setelahnya, maka itulah yang dikehendaki, namun jika imam membaca surat setelahnya sebelum engkau menyelesaikan bacaan surat al-Fatihah, maka teruslah engkau membacanya hingga menyelesaikannnya.

 

Penanya :

Kita sering melihat bahwasannya termasuk perkara yang sulit bagi makmum membaca al-Fatihah ketika imam sedang membaca surat karena ini kadang terjadi membaca al-Fatihah sebagian saja dan bacaannya tidak benar. Ini disebabkan makmum membaca dengan pelan sedangkan imam membaca dengan keras?

 

Syaikh:

Saya harap maksud min dalam perkataannmu (termasuk sulit) untuk tab’id (menunjukkan bagian dari keseluruhan) bukan untuk menjelaskan jenis. Maka Al-Fatihah sebagaimana perkataanmu: sulit bagi sebagian orang membacanya ketika imam membaca akan tetapi pada sebagian orang tidak sulit membacanya, sehingga bisa saja dia membacanya ketika imam sedang membaca. Karena hal ini telah kami coba.

 

Penanya :

Bagaimana terkait dengan orang yang kesulitan membacanya.

 

Syaikh:

Hendaknya dia berusaha membacanya.

 

Nurun ‘Ala ad-Darb 2

 

سكتة الإمام ب

 

عد قراءة الفاتحة وحكم قراءة الفاتحة في حق المأموم

 

السؤال: بعض الأئمة في الصلاة الجهرية كالمغرب وغيرها من العشاء والفجر بعد قراءة الفاتحة يسرعون في قراءة سورةٍ بعدها، ولا يجعلون للمأموم فرصة لقراءة الفاتحة، فبماذا تنصحون من يفعل ذلك من الأئمة؟ وماذا على المأموم إذا لم يقرأ الفاتحة في الركعتين الأوليين؟

الجواب: أما الأئمة الذين يصنعون ذلك ولا يسكتون بين قراءة الفاتحة وقراءة السورة التي بعدها فيمكن أن يكون ذلك الفعل منهم صادراً عن جهل أو عن علم، فقد يكون عن علم؛ لأن حديث سمرة في إثبات السكتتين وإحداهما بعد قراءة الفاتحة اختلف العلماء في تصحيحه، فمنهم من رآه صحيحاً وعمل به وقال: إنه يشرع للإمام أن يسكت بعد قراءة الفاتحة، والسكتة الواردة سكتةٌ مطلقة ليست محددة كما حددها بعض الفقهاء بمقدار قراءة المأموم الفاتحة، وإنما هي سكتةٌ مطلقة للفصل بين فرض القراءة ونفلها.ومن العلماء من لا يصحح الحديث، ويرى أنه ينبغي وصل قراءة ما بعد الفاتحة بها، ولا يمكن أن نحجر على أحد ما أداه إليه علمه بعد النظر والاجتهاد، لكن الحديث فيما نرى حجة، وقد أثبته الحافظ ابن حجر في فتح الباري وقال: إنه ثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم هذا السكوت، وهذا بالنسبة للإمام.أما بالنسبة للمأموم فإنه يقرأ الفاتحة ولو كان الإمام يقرأ على القول الذي نختاره؛ لعموم قول النبي صلى الله عليه وسلم: ( لا صلاة لمن لم يقرأ بأم القرآن )، وهذا الحديث ثابت في الصحيحين وغيرهما، وفي حديث عبادة بن الصامت في السنن: ( أن النبي صلى الله عليه وسلم صلى بهم صلاة الصبح فانصرف وقال: لعلكم تقرءون خلف إمامكم؟ قالوا: نعم، قال: لا تفعلوا إلا بأم القرآن، فإنه لا صلاة لمن لم يقرأ بها )، وهذا ظاهر في أن المأموم يقرأ حتى في الصلاة الجهرية؛ لأن هذه صلاة الصبح وهي صلاة جهرية، فهذا الحديث واضح في أن المأموم يقرأ ولو كان الإمام يقرأ، ويشهد له عموم الحديث السابق الذي أشرنا إليه، فعلى هذا نقول للمأموم: اقرأ الفاتحة، فإن أكملتها قبل أن يبتدئ الإمام لقراءة ما بعدها فذاك، وإن شرع الإمام بقراءة ما بعدها قبل إكمالك لسورة الفاتحة فاستمر عليها حتى تكملها.مداخلة: لكن أرى أنه من الصعب أن يقرأ المأموم الفاتحة والإمام يقرأ؛ لأن هذا قد يحدث لخبطة في القراءة وتكون قراءة غير صحيحة؛ لأن هذا المأموم يقرأ سراً والإمام يقرأ جهراً؟الشيخ: أرجو أن تكون (من) في كلامك: (من الصعب) للتبعيض لا لبيان الجنس، فهي كما قلت: تصعب على بعض الناس القراءة والإمام يقرأ، ولكنها على بعض الناس لا تصعب، ويمكنه أن يقرأ والإمام يقرأ، وهذا شيء جربناه.مداخلة: لكن بالنسبة للذي تصعب عليه.الشيخ: يحاول أن يقرأ.

 

 

 

Setelah diketahui bahwa Al-Fatihah adalah bagian dari rukun shalat, bagaimanakah hukum membaca Al-Fatihah bagi makmum saat imam mengeraskan bacaan Al-Fatihah dalam shalat jahriyah?

 

 

Para ulama berselisih pendapat mengenai hukum makmum membaca surat di belakang imam.

 

 

Ulama Malikiyah dan Hanabilah menyatakan bahwa makmum tidak wajib membaca Al-Fatihah baik dalam shalat jahriyah (Maghrib, Isya dan Shubuh) maupun sirriyah (Zhuhur dan Ashar) karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 

مَنْ كَانَ لَهُ إِمَامٌ فَقِرَاءَةُ الإِمَامِ لَهُ قِرَاءَةٌ

 

Barangsiapa yang shalat di belakang imam, bacaan imam menjadi bacaan untuknya.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah no. 850. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)

 

 

Namun ada perkataan tegas dari ulama Malikiyah dan Hanabilah bahwa makmum disunnahkan membaca Al-Fatihah untuk shalat sirriyah.

 

 

 

Adapun dalam madzhab Hanafiyah, makmum tidak membaca sama sekali di belakang imam dalam shalat sirriyah, bahkan dinyatakan makruh lit tahrim jika tetap membaca di belakang imam. Namun jika tetap dibaca, menurut pendapat terkuat, shalatnya tetap sah. Di antara alasannya adalah ayat,

 

 

وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآَنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

 

Dan apabila dibacakan Al Quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-A’raf: 204)

 

 

Sedangkan ulama Syafi’iyah menyatakan bahwa wajib membaca Al-Fatihah bagi makmum baik dalam shalat sirriyah (Zhuhur dan Ashar), begitu pula dalam shalat jahriyah (Maghrib, Isya, dan Shubuh). Alasannya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

 

لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ

 

Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Al-Fatihah.” (HR. Bukhari, no. 756 dan Muslim, no. 394)

 

 

Ada pernyataan dari Syafi’iyah dan Hanabilah bahwa dimakruhkan bagi makmum membaca di saat imam menjaherkan (mengeraskan) bacaan. Namun ulama Syafi’iyah mengecualikan jika dikhawatirkan luput dari sebagian Al-Fatihah.

 

 

 

Kapan membaca Al-Fatihah bagi makmum jika meyakini wajibnya?

 

Ulama Syafi’iyah menyatakan bahwa siapa yang mengetahui bahwa imam tidak membaca surat setelah Al-Fatihah atau suratnya begitu pendek, maka ia membaca Al-Fatihah berbarengan dengan imam.

 

 

Namun disunnahkan makmum membaca Al-Fatihah tadi di antara diamnya imam sejenak setelah membaca Al-Fatihah (disebut: saktaat) atau Al-Fatihah dibaca ketika ia tidak mendengar imam karena ia jauh atau tuli.

 

 

Ulama Hambali menyatakan bahwa makmum membaca Al-Fatihah tersebut saat diamnya imam setelah membaca Al-Fatihah. (Lihat bahasan Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, 33: 52-54).

 

Kesimpulan Pendapat Ibnu Taimiyah menyatakan sebagai berikut.

 

Intinya membaca Al Fatihah di belakang imam, kami katakan bahwa jika imam menjahrkan bacaannya, maka cukup kita mendengar bacaan tersebut. Jika tidak mendengarnya karena jauh posisinya jauh dari imam, maka hendaklah membaca surat tersebut menurut pendapat yang lebih kuat dari pendapat-pendapat yang ada. Inilah pendapat Imam Ahmad dan selainnya. Namun jika tidak mendengar karena ia tuli, atau ia sudah berusaha mendengar namun tidak paham apa yang diucapkan, maka di sini ada dua pendapat di madzhab Imam Ahmad. Pendapat yang terkuat, tetap membaca Al Fatihah karena yang afdhol adalah mendengar bacaan atau membacanya. Dan saat itu kondisinya adalah tidak mendengar. Ketika itu tidak tercapai maksud mendengar, maka tentu membaca Al Fatihah saat itu lebih afdhol daripada diam. (Majmu’ah Al-Fatawa, 23: 268)

 

 

Dalil yang menunjukkan bahwa bacaan imam juga menjadi bacaan bagi makmum dapat dilihat pada hadits Abu Bakrah.

 

 

Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari jalan Al-Hasan, dari Abu Bakrah bahwasanya ia mendapati Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang ruku’. Lalu Abu Bakrah ruku’ sebelum sampai ke shaf. Lalu ia menceritakan kejadian yang ia lakukan tadi kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

 

 

زَادَكَ اللَّهُ حِرْصًا وَلاَ تَعُدْ

 

“Semoga Allah menambah semangat untukmu. Namun yang seperti tadi jangan diulangi.” (HR. Bukhari no. 783).

 

 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang Abu Bakrah untuk masuk shaf dalam keadaan ruku’ karena seperti itu seperti tingkah laku hewan ternak, demikian kata Ibnu Hajar dalam Al-Fath (2: 268). Di sini dapat disimpulkan bahwa mendapatkan ruku’ berarti mendapatkan satu raka’at, itulah yang dikejar oleh Abu Bakrah. Kalau mendapatkan ruku’ berarti mendapatkan satu raka’at, berarti tidak membaca Al-Fatihah sama sekali. Artinya, bacaan Al-Fatihah tersebut sudah ditanggung oleh imam.

 

Sementara pendapat Imam Syaafi’i saddan lidzarooi’. Karena hadist :

لا صلاة لمن لم يقرأ بفاتحة الكتاب. (.رواه البخارى.)

Ini derajat hadistnya lebih/roojih.

 

Semoga bermanfaat. Wallahu’alam bishshawab . [ ]

 

*penulis adalah anggota Bidang Dakwah MUI Pusat dan anggota Bidang Dakwah Pengurus Besar Matlaul Anwar ( PB MA

 

5

Red: admin

Editor: iman

934