Oleh: Muhammad Iqbal*
PERCIKANIMAN.ID – – Kasus tentang kejahatan korupsi di Indonesia nampaknya belum berkurang secara signifikan meski telah di bentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Beberapa kasus belakangan ini justru menjerat para oknum penegak hukum sebagai pelakunya. Hal ini tentu sangat ironis dan bisa membuat aparat atau lembaga penegak hukum tidak lagi mendapat kepercayaan masyarakat.
Dalam pandangan ulama menurut syariat Islam hukum atau kedudukan korupsi sendiri adalah haram atau sangat terlarang dan tercela. Ini mengacu pada penjelasan Rasulullah Saw,
“Laknat Allah terhadap penyuap dan penerima suap” (HR. Abu Dawud).
Tentang hadiah kepada aparat pemerintah, Rasul berkata, “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kufur” (HR. Imam Ahmad).
Tidak bisa dibantah lagi korupsi dan suap kian kuat mencengkeram kehidupan berbangsa di negara ini. Mereka dengan begitu mudah memorak-porandakan sistem dan seluruh sendi pemerintahan yang memang dibangun di atas fondasi yang rentan.
Tingginya angka korupsi di Indonesia telah menyebabkan semua sistem dan sendi kehidupan bernegara rusak karena praktik korupsi telah berlangsung secara merata dan membuat larut hampir semua elite politik. Jika dibiarkan terus berlangsung dan tanpa tindakan tegas, korupsi akan menggagalkan demokrasi dan membuat negara dalam bahaya kehancuran.
Di tingkat regional Asia dan Asia Pasifik, Indonesia selalu menduduki peringkat teratas sebagai negara paling korup. Political and Economy Risk Consultancy (PERC), sebuah lembaga konsultan independen yang berbasis di Hongkong, menempatkan Indonesia pada posisi sebagai negara juara korupsi di Asia selama sepuluh tahun lebih secara berturut-turut.
Pada tahun 2006, Indonesia memiliki skor 8,16 yang berarti skor tertinggi yang mendekati angka sempurna sebagai negara paling korup di Asia. Data PERC menyebutkan bahwa selama 10 tahun lebih, sejak 1997-2006, dan hingga 2011, bahkan menurut Indeks Persepsi Korupsi (CPI) yang dirilis oleh Transparency International pada Desember 2012 menyebut Indonesia menempati urutan ke 11 dari 176 negara. Tentu ini bukan prestasi yang membanggakan tapi sangat menjijikan!.
Abdullah Dahlan, pegiat anti korupsi Indonesian Corruption Watch (ICW) menyatakan bahwa data-data kasus korupsi seperti itu membuktikan bahwa praktek korupsi telah menyebar hingga ke daerah-daerah seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah. “Ini fenomena yang makin membuat khawatir. Penyakit korupsi semakin massif penyebarannya,” ucap Abdullah Dahlan.
Dalam prakteknya, korupsi sangat sukar bahkan hampir tidak mungkin diberantas. Namun akibat dari tindakan korupsi tersebut sangat kuat terasa bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu akses perbuatan korupsi yang merupakan bahaya latent harus diwaspadai baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat itu sendiri, serta ada penanggulangan dan tindakan tegas terhadap kasus korupsi tersebut, agar tercapainya tujuan pembangunan nasional.
Tidak hanya di hukum ringan, pelaku koruptor kelas kakap mendapat perlakuan istimewa dan Hukuman penjara bagi narapidana koruptor kakap di negeri ini rupanya hanya kamuflase. Sang terpidana korupsi sepintas tampak secara serius digiring masuk ke gerbang penjara usai dijatuhi hukuman, tapi kenyataannya, semua itu palsu belaka. Para terpidana koruptor kakap ternyata masih mendapat perlakuan istimewa.
Lihat saja, masih banyaknya koruptor yang bebas keluar masuk lembaga pemasyarakatan (lapas), pulang ke rumah, pergi ke pusat-pusat perbelanjaan, ataupun melenggang ke tempat- tempat publik, meski tengah menjalani hukuman. Para terpidana koruptor ini bahkan masih diterima bak raja ketika mereka berkesempatan hadir di tempat-tempat pertemuan umum atau di tempat-tempat pesta.
Kenyataan seperti ini sungguh semakin membuka mata publik bahwa koruptor yang dipenjara di negeri kita memang tidak pernah dihukum selayaknya narapidana lainnya. Padahal, sebagai pelaku kejahatan luar biasa (extra-ordinary crime), terpidana koruptor justru sudah seharusnya mendapatkan hukuman yang ekstra berat.
Tidak hanya dalam bentuk lamanya masa hukuman tapi juga dalam bentuk hukuman sosial dan ekonomi yang sangat keras. Ini sangat penting untuk menimbulkan efek jera, baik bagi sang pelaku maupun “calon-calon” pelaku tindak pidana korupsi.
Leluasanya para terpidana koruptor ke luar sel jelas akan menyebabkan hilangnya efek jera. Lebih dari itu, melenggang-bebasnya para terpidana korupsi di tempat-tempat umum merupakan tamparan telak bagi wajah penegakan hukum di negeri ini.
Hukum benar-benar dipermainkan, dilecehkan, dan bisa dibeli oleh para koruptor itu. Ini jelas sangat memporakporandakan upaya pemberantasan korupsi di Tanah Air.
Karena itu, demi upaya pemberantasan korupsi yang lebih bertaji dan mematikan, institusi penegak hukum harus berani dan sungguh-sungguh menerapkan penegakan hukum yang menciptakan efek jera.
Banyak langkah yang bisa dilakukan untuk menciptakan efek jera bagi terpidana korupsi dan “calon-calon” koruptor. Pengenaan baju tahanan yang diberlakukan Komisi Pemberantasan Korupsi saat ini adalah sebuah langkah baik.
Namun, jangan hanya tulisan “tahanan KPK”, tapi juga ada sebutan “koruptor” agar masyarakat lebih mengetahui wajah si penjara uang rakyat tersebut. Sorotan atas diri mereka oleh berbagai media massa akan menjadi alat ampuh untuk menciptakan rasa malu.
Cara lain yang bisa membuat efek jera yaitu dengan meniru cara rezim Orde Baru dalam menangani orang eks anggota PKI. Para koruptor yang tertangkap layak diberikan KTP khusus dengan tulisan “koruptor”. KTP khusus ini harus berlaku seumur hidup. Dengan cara seperti ini, sang koruptor pasti akan merasakan bahwa mereka adalah orang-orang yang sangat tidak dibutuhkan negara ini.
Pemiskinan koruptor juga merupakan hal yang sangat bagus dilakukan guna menimbulkan efek jera. Ini dilakukan dengan menyita semua harta benda yang merupakan hasil korupsi. Singapura dan Hong Kong adalah dua negara yang sukses menekan angka korupsi karena menerapkan aturan yang sangat ketat. Komitmen politik pemerintah yang tinggi dalam memberantas korupsi adalah faktor utama dan terpenting dari keberhasilan Singapura.
Jepang juga sangat ketat dalam perang melawan korupsi. Di Negeri Matahari Terbit itu, koruptor yang berani tampil di depan publik akan disoraki. Cara Jepang ini sangat efektif untuk menimbulkan rasa malu dalam diri para koruptor.
Makanya banyak tokoh publik Jepang yang terbukti korupsi akhirnya mengambil jalan pintas — bunuh diri — setelah disoraki masyarakat sebagai koruptor. Kita harus bisa belajar dari Singapura, Hong Kong, dan Jepang dalam hal penciptaan efek jera bagi para koruptor.
Dengan menerapkan semua hal yang disebutkan di atas, kita yakin terpidana korupsi yang sudah bebas dari hukuman dan orang-orang lain di negeri ini pasti harus berpikir seribu kali untuk korupsi. Saat ini, orang- orang dengan mudah melakukan tindak pidana korupsi karena hukumannya ringan dan penjara kerap terkesan hanya sebuah kamuflase.
Ini tak bisa dibiarkan jika kita ingin membasmi habis korupsi yang sudah merajalela ini. Hukuman bagi koruptor, si perampok uang negara, haruslah final, mampu menimbulkan efek jera, dan mematikan. Wallahu’alam.[]
*Penulis adalah pegiat dakwah dan penulis buku.
4
Red: admin
Editor: iman
902
Bagi pembaca yang punya hobi menulis dan ingin dimuat di www.percikaniman.id bisa mengirimkan tulisannya ke email: [email protected] Jadilah pejuang dakwah melalui tulisan-tulisan yang inspiratif,motivatif dan edukatif serta penyebar amal saleh bagi banyak orang. Bergabunglah bersama ribuan pembaca dalam menebar kebaikan.