Istitho‘ah Dalam Haji, Begini Penjelasannya

0
723

PERCIKANIMAN.ID – – Kewajiban menunaikan ibadah haji tidak bisa dilepaskan dari faktor-faktor yang mendukung lancarnya pelaksanaan ibadah haji tersebut, baik secara kolektif maupun individu. Jika salah satunya mendapat gangguan, maka kewajiban menunaikan haji menjadi gugur dengan sendirinya.

Secara kolektif, faktor pendukung pelaksanaan Ibadah Haji menjadi tanggung jawab lembaga terkait, baik itu tingkat penyelenggara negara atau lembaga swasta yang terlibat. Dalam hal ini, tentunya pemerintah kerajaan Arab Saudi dan lembaga-lembaga di bawahnya yang berkaitan menjadi penanggung jawab utama lancarnya pelaksanaan haji.

Mereka bertanggung jawab dengan pengelolaan dan pengurusan sarana dan prasarana yang menjadi tujuan dari ibadah haji. Demikian pula pemerintahan tempat jamaah haji berasal. Mereka berkewajiban untuk memenuhi segala kebutuhan perjalanan ibadah haji.

Adapun faktor pendukung yang ada pada masing-masing individu adalah kemampuan fisik dan nonfisik selama pelaksanaan ibadah haji dari awal sampai akhir, yang lebih dikenal dengan istilah istitha‘ah (mampu). Meskipun demikian, istilah isthitha‘ah lebih diartikan kemampuan fisik, kemampuan harta, dan kemampuan pada waktu seseorang hendak mengerjakan haji atau umrah. Allah Swt berfirman,

 

Di sana terdapat tanda-tanda Maqam yang jelas, di antaranya Maqam Ibrahim. Siapa pun yang memasuki Baitullah, ia akan aman. Di antara kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu melaksanakan ibadah haji ke Baitullah bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Bagi siapa pun yang mengingkari kewajiban haji, ketahuilah bahwa Allah Mahakaya, tidak memerlukan sesuatu dari seluruh alam.” (Q.S. Āli ‘Imrān [3]: 97)

Dalam sebuah hadis, diriwayatkan bahwa ada seorang laki-Iaki bertanya, “Ya Rasulullah, apakah yang disebut sabil (jalan) itu?” Rasulullah menjawab, “Bekal dan kendaraan” (H.R. Daruquthni).

Dengan dasar Al-Qur’an dan hadis tersebut, secara umum kemampuan fisik (badan), bekal, dan transportasi menjadi hal yang paling utama dalam istitha’ah seseorang, baik dalam haji maupun umrah.

Sementara itu, para ulama memberikan pendapat yang bervariasi tentang istitha’ah. Imam Malik berpendapat bahwa istitha’ah yang dimaksud adalah kemampuan dan keamanan dalam melakukan perjalanan. Mereka yang sanggup melakukan perjalanan dengan berjalan kaki, maka kendaraan tidak menjadi syarat mutlak, dan tentu saja ia termasuk kategori mampu.

Demikian halnya mereka yang dapat mencari nafkah selama dalam perjalanan dan pelaksanaan haji, misalnya dengan bekerja walaupun dengan bantuan orang lain serta dapat meninggalkan biaya yang cukup bagi keluarga yang ditinggalkan, maka ia sudah termasuk dalam kategori mampu. Keamanan yang dimaksud di sini adalah aman untuk dirinya pada saat melaksanakan haji dan bagi orang yang ditinggalkan selama kepergiannya.

Diriwayatkan dari Abdullah bin Amr, dia berkata, “Rasulullah Saw. bersabda, ‘Cukup dosa seseorang yang menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya.’” (H.R. Abu Daud)

Menurut Imam Syafi’i, istitha’ah dibagi menjadi dua, yaitu:  Pertama kemampuan pribadinya langsung, yaitu kemampuan untuk melaksanakan haji oleh dirinya sendiri.

Kedua kemampuan dengan bantuan dari orang lain secara tidak langsung. Yaitu, kemampuan untuk melaksanakan haji dengan bantuan orang lain, seperti orang yang sudah tidak mampu fisik, tetapi hartanya mampu untuk membiayai orang lain berhaji, atau menyertainya berhaji seperti orang buta dengan membiayai seseorang yang akan menuntunnya.

Sebagian ulama muta’akhirin (kontemporer) memandang perlu memasukkan unsur kesehatan, kesempatan, dan keamanan sebagai salah satu unsur yang memungkinkan sampainya seseorang di tempat pelaksanaan haji itu (Imakaan al-wusul) serta segala yang terkait dengan kebijakan pemerintah setempat atau pemerintah Arab Saudi langsung dengan ketentuan perhajian dari negara yang bersangkutan, menjadi salah satu dari unsur kajian istitha’ah.

Istitha‘ah sebagai salah satu syarat wajib haji memberikan konsekuensi kepada seseorang yang sudah wajib melaksanakan haji. Sehingga, apabila ia tidak melaksanakan haji, maka ia berdosa. Dengan demikian, istitha‘ah bukanlah dasar ukuran sah atau tidaknya haji seseorang.

Misalnya, seseorang yang belum istitha‘ah karena dalam perjalanannya tidak aman, ternyata dapat sampai ke Tanah Suci dan melaksanakan haji dengan sempurna, maka hajinya sah walaupun ia tidak termasuk orang yang sudah wajib haji.

Istitha‘ah dalam pengertian tadi adalah umum, untuk laki-laki dan perempuan. Sementara, khusus untuk kaum perempuan, berikut beberapa ketentuan yang mesti diperhatikan. [ ]

Sumber: disarikan dari buku “ HAJI & UMROH, INSYA ALLAH MABRUR “ karya Dr. Aam Amiruddin, M.Si

5

Red: admin

Editor: iman

945

Sampaikan pertanyaan Anda melalui WA: 081281818177 atau alamat email: [email protected]  atau inbox melalui Fans Page Facebook Ustadz Aam Amiruddin di link berikut ini : https://www.facebook.com/UstadzAam/