Tafsir Surat Al-Fajar ayat 17 – 30
Oleh: Dr.Aam Amiruddin, M.Si*
PERCIKANIMAN.ID – – Setiap orang khususnya orang Islam pastinya ingin dan mendambakan masuk surga, termasuk masuk surga tanpa hisab atau perhitungan. Ada banyak cara atau jalan menuju Surga-Nya, salah satunya dengan memuliakan anak yatim dan memberi makan fakir miskin. Seperti dijelaskan dalam Alquran khususnya Surat Al Fajr sebagai berikut:
Sekali-kali tidak, sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim ( QS.Al Fajr: 17)
Kecintaan yang berlebihan terhadap harta akan menyebabkan tumpulnya nurani kita untuk berbagi kasih dengan anak-anak yatim. Padahal anak yatim wajib diperlakukan secara hormat, dicintai, serta dimuliakan. Rasulullah saw. memberi penghargaan kepada orang yang mau merawat anak yatim dengan penuh cinta. Sabdanya,
“Saya dan orang yang merawat anak yatim dengan baik akan berada di surga bagaikan dekatnya jari telunjuk dengan jari tengah.” (H.R. Muslim). Redaksi lain menyebutkan, “Pengasuh anak yatim, baik masih ada hubungan nasab atau orang lain, akan bersamaku di surga, dekatnya bagaikan jari telunjuk dan jari tengah.” (H.R. Muslim).
Sampai usia berapa seseorang dikategorikan yatim? Dalam Q.S. An-Nisa 4: 6 ada ungkapan “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk menikah.” Cukup umur untuk menikah pada ayat ini menggambarkan bahwa seseorang tidak lagi dikatakan yatim apabila sudah mampu hidup mandiri. Dengan demikian, sesungguhnya tidak ada batasan umur yang definitif, pokoknya berapa pun usianya, kalau sudah bisa hidup mandiri, tidak disebut yatim.
Apabila kita tidak memiliki kepedulian untuk merawat, mencintai, memuliakan, dan mendidik anak yatim, bahkan menghardik dan menistakannya, dalam Q.S. Al Maa’uun (107) ayat 2, Allah swt. mengklasifikasikan kita sebagai orang-orang yang mengingkari hari pembalasan. Na’udzubillah !
Selanjutnya, sifat buruk orang-orang yang terlalu mencintai harta yaitu
“Dan kamu tidak saling mengajak memberi makan orang miskin,” ( QS.Al Fajr: 18)
Ustadz. M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al Quran Al Karim menyebutkan paling tidak ada dua hal yang patut disimak dari redaksi ayat di atas.
Pertama, ayat tersebut tidak berbicara tentang kewajiban “memberi makanan”, tetapi berbicara tentang kewajiban “menganjurkan memberi makan”. Ini berarti bahwa mereka yang tidak memiliki kelebihan apa pun dituntut pula untuk berperan sebagai “penganjur memberi makanan terhadap orang miskin”. Atau dengan kata lain, kalau kita tidak mampu secara langsung memberi santunan dan perhatian kepada fakir miskin, minimal kita harus menganjurkan orang-orang yang berkemampuan memperhatikan nasib mereka. Jadi, ayat ini tidak memberi peluang sedikit pun untuk tidak berpartisipasi memberikan perhatian kepada setiap orang yang lemah dan membutuhkan bantuan.
Kedua, ayat tersebut tidak menggunakan redaksi ith’am yang artinya “memberi makan”, tetapi menggunakan kata tha’am yang artinya “makanan atau pangan”. Ini merupakan peringatan agar setiap orang yang menganjurkan atau yang memberi tidak merasa bahwa ia telah memberi makan orang-orang yang membutuhkan. Pangan atau makanan yang mereka berikan, pada hakikatnya adalah milik orang-orang miskin, walaupun diambil dari gudang atau penyimpanan milik si pemberi. “Dan dalam harta orang yang berkecukupan itu terdapat hak orang yang meminta dan orang yang tidak memiliki.” (Q.S. Adz-Dzariat 51: 19)
Banyak keterangan yang menjelaskan keutamaan meringankan beban kehidupan kaum dhuafa, di antaranya dalam riwayat Abu Hurairah r.a., Rasulullah saw. bersabda, “Siapa yang menolong kesusahan seorang Muslim dari kesusahan-kesusahan dunia, pasti Allah akan menolongnya dari kesusahan-kesusahan akhirat. Siapa yang meringankan beban orang yang susah, niscaya Allah akan ringankan bebannya di dunia dan akhirat. Siapa yang menutup aib seorang Muslim, niscaya Allah akan tutup aibnya di dunia dan akhirat. Allah akan senantiasa menolong hamba-Nya selama si hamba itu suka menolong orang lain.” (H.R. Bukhari)
Selanjutnya, sifat buruk orang-orang yang terlalu mencintai harta yaitu
“Dan kamu memakan harta pusaka dengan cara mencampurbaurkan “, (QS.Al Fajr: 19)
Secara prinsip, harta warisan itu halal, dengan catatan harta tersebut benar-benar sah hak kita. Yang diharamkan dalam ayat ini apabila dengan sengaja kita mencampuradukkan harta warisan yang sah milik kita dengan harta warisan orang lain, sehingga samar antara harta warisan yang sah dan milik ahli waris lain.
Orang-orang serakah seringkali menghalalkan segala cara untuk mendapatkan harta yang lebih banyak, padahal dia sudah mendapat bagian yang jelas, namun tetap saja melakukan manipulasi dengan cara memnyamarkan hartanya dengan harta orang lain. Sehingga orang yang diambil haknya sulit ketika akan menggugatnya.
Ayat ini akan mudah difahami kalau kita memahami situasi masyarakat jahiliah. Pada masa itu, kaum musyrikin tidak memberi warisan kepada anak-anak yatim dan istri yang ditinggal, bahkan tidak jarang istri yang suaminya meninggal pun dijadikan warisan. Dalihnya, karena mereka beranggapan bahwa warisan hanya diperuntukkan untuk orang-orang yang bisa berperang membela suku, yakni laki-laki dewasa.
Apabila dengan sengaja kita tidak membagikan harta warisan kepada keluarga yang berhak menerimanya, kita termasuk orang yang dibahas dalam ayat ini, yakni ”Dan kamu memakan harta pusaka dengan cara mencampurbaurkan”. Mengapa hal ini terjadi? Ayat berikut memberikan penegasan, bahwa hal itu dikarenakan kita terlalu mencintai harta sehingga menghalalkan segala cara.
“Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan.” ( QS.Al Fajr: 20)
Setelah Allah swt. menjelaskan sejumlah karakter buruk orang-orang yang terlalu mencintai harta, selanjutnya Allah swt. mengingatkan suatu peristiwa yang sangat menggugah perasaan, yakni peristiwa kiamat dan penghisaban.
“Jangan. Apabila bumi digoncangkan berturut-turut. ” ( QS.Al Fajr: 21)
Kata kalla yang diterjemahkan dengan ”jangan”, merupakan peringatan bahwa ”Jangan! Jangan menghalalkan segala cara demi harta, karena suatu saat bumi akan digoncangkan dengan dasyat, bumi akan memuntahkan seluruh isi perutnya, dan alam semesta yang begitu kokoh akan hancur, itulah peristiwa kiamat! Pada saat seperti itu, tidak ada sumber kekuatan kecuali datang dari Allah swt. Harta, anak, kedudukan, dan simbol-simbol kemuliaan lainnya tidak bermanfaat.
Setelah alam mengalami kehancuran, kemudian manusia akan dibangkitkan untuk dihisab pada pengadilan Yang Maha Adil. Peristiwa ini digambarkan pada ayat berikut.
“Dan datanglah Tuhanmu; sedang malaikat berbaris-baris.” ( QS.Al Fajr: 22)
Subhanallah, ini gambaran yang sangat menggetarkan. Betapa tidak, setelah manusia dibangkitkan, Allah swt. akan datang dan para malaikat berbaris-baris. Ustadz Sayyid Quthb dalam tafsir Fi Dzilalil Quran menyebutkan bahwa kalimat ”Dan datanglah Tuhanmu; sedang malaikat berbaris-baris”, adalah termasuk perkara gaib yang kita tidak mengetahui hakikat sebenarnya. Namun yang pasti dibalik penggambaran tersebut kita bisa merasakan suasana keagungan dan kengerian yang terjadi pada saat itu.
“Dan pada hari itu diperlihatkan neraka Jahanam; dan pada hari itu ingatlah manusia, akan tetapi tidak berguna lagi mengingat itu baginya.” ( QS. Al Fajr: 23)
Ayat ini menegaskan bahwa manusia akan sadar dengan segala dosa dan maksiat yang pernah diperbuatnya pada saat neraka Jahanam sudah ada di kelopak matanya. Manusia yang memakan harta warisan secara batil, tidak peduli dengan nasib anak yatim, dan hatinya tidak tersentuh dengan penderitaan orang-orang miskin, akan merasa sadar saat jahanam berada di hadapannya. Namun sayang, ingat akan dosa dalam kondisi seperti ini tidak akan memberi guna dan manfaat. Ungkapan penyesalan abadi terekam dalam ayat berikutnya.
Dia mengatakan: “Alangkah baiknya kiranya aku dahulu mengerjakan untuk hidupku ini”. ( QS.Al Fajr: 24)
Inilah gambaran penyesalan abadi. Manusia akan mengalami penyesalan abadi dalam dua keadaan. Pertama, ketika terjadi penghisaban ada manusia yang baru menyadari bahwa dirinya belum berbekal amal saleh, seperti yang dijelaskan dalam ayat di atas.
Kedua, saat malaikat maut menjemputnya padahal belum siap dengan bekal amal saleh. “Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata, ’Ya Tuhanku, mengapa Engkau tidak menangguhkan kematianku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh.’” (Q.S. Al Munaafiquun 63: 10)
Ayat ini menegaskan bahwa ada orang yang baru tersadar kalau dirinya belum punya perbekalan akhirat saat dijemput malaikat maut. Ia lantas memohon,“Ya Allah tangguhkan kematianku sesaat saja agar aku punya kesempatan untuk beramal saleh.” Penyesalan ini tak berarti, sebab kalau jatah umur sudah habis, sedetik pun tidak bisa diperpanjang.
Selanjutnya Allah swt. mengambarkan dasyatnya siksa bagi orang-orang zalim pada hari akhirat.
Maka pada hari itu tiada seorang pun yang menyiksa seperti siksa-Nya, dan tiada seorang pun yang mengikat seperti ikatan-Nya. ( QS.Al Fajr: 25 – 26)
Na’udzubillah, inilah gambaran azab bagi para pendosa. Allah swt. Maha Adil, Allah swt. akan memberi sanksi pada para pendosa, namun Allah swt. pun akan memberikan imbalan pada orang-orang yang mau menyisihkan waktu, kesempatan, harta, dan segala nikmat Allah yang diberikan kepadanya untuk bertaqarrub (mendekatkan) diri, bersyukur, dan menjauhi kemaksiatan.
Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridoi-Nya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku, Masuklah ke dalam surga-Ku. ( QS.Al Fajr: 27 – 30)
Subhanallah, sungguh sangat indah susunan ayat ini. Allah swt. memberi penghargaan pada orang-orang yang taat pada-Nya dengan panggilan yang sangat menyejukkan, ”Hai jiwa yang tenang!…”
Semoga kita diberi kekuatan oleh Allah swt. untuk bisa masuk dalam kelompok yang mendapat panggilan seperti yang tertera pada akhir surat Al Fajr ini. Amin. Wallahu’alam bishshawab . [ ]
5
Editor: iman
Ilustrasi foto: pixabay
780
Follow juga akun sosial media percikan iman di:
Instagram : @percikanimanonline
Fanspages : Percikan Iman Online
Youtube : Percikan Iman Online
Twitter: percikan_iman