Suami Impoten, Apakah Istri Bisa Gugat Cerai ?

0
721

Assalamu’alaykum. Pa Aam, maaf sedikit tanya. Dari awal pernikahan suami sudah terlihat mempunyai masalah dalam hubungan suami istri. Saya sudah menyarankan untuk berobat atau konsultasi dokter tapi suami menolak. Ternyata suami mengakuinya karena gangguan psykis. Sudah lebih 2 tahun hingga saat ini kami tidak lagi berhubungan suami-istri. Apakah suami bisa dikategorikan zalim terhap istri sebab tidak bisa lagi memberi nafkah batin? Apakah istri bisa menggugat cerai dengan alasan tersebut tadi sedangkan saya masih normal dan takut terjerumus dosa. Mohon nasihatnya. ( L via fb)

 

 

Wa’alaykumsalam ww. Bapak ibu dan sahabat-sahabat sekalian yang dirahmati Allah. Perlu disadari dan dipahami bahwa ketika ijab qabul sudah dilaksanakan maka seketika itu pula sepasang suami istri harus selalu kuat keinginannya untuk menunaikan hak dan kewaibannya masing-masing. Bergaul dengan baik dalam rumah tangga. Suami istri memberikan sesuatu yang terbaik dan utama sesuai kewajibannya dan berusaha menyelesaikan masalah-masalah yang terkadang menimpanya secara baik dan bijaksana.

 

 

Seorang istri, selain mempunyai kewajiban kepada suaminya maka ia juga mempunyai hak yang harus ditunaikan seorang suami kepada istrinya. Coba kita simak penggalan ayat Alquran dimana Allah Swt berfirman,

 

 

“…Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf…..  “(QS. Al Baqarah: 228)

 

Maksudnya dalam hidup rumah tangga itu tidak ada yang lebih dominan dalam menuntut haknya. Seorang suami tidak boleh sekedar menuntut haknya dari istrinya sementara kewajiab dia kepada istrinya tidak dipenuhi. Demikian juga sebaliknya seorang istri kepada suaminya.

 

 

Seorang suami tidak boleh mendiamkan istrinya khususnya dalam pemenuhan nafkah batin (hubungan suami istri) selama waktu tertentu. Suami boleh mendiamkannya jika istri melakukan nusyuz atau membangkang, misalnya tidak taat kepada suami, tidak menunaikan hak suaminya maka dalam hal ini suami diboleh mendiamkannya sampai istri bertaubat. Dalam Alquran firman Allah,

 

Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”. (QS. An Nisa’: 34)

 

 

Jadi selama istri tidak melakukan pembangkangan (nusyuz) maka suami wajib memberikan hak kepada istrinya nafkah lahir dan batin termasuk hubungan suami istri. Jika suami tidak memberikan hak kepada istrinya termasuk hubungan suami istri sebagai salah satu nafkah batinya selama beberapa waktu maka suami bisa dikategorikan telah berbuat dzalim atau aniya.

 

 

Terkait dengan waktu atau berapa kali suami istri harus melakukan hubungan intim? . Hal ini tidak ada ketentuan khusus atau dalil yang menjelasakan secara rinci, berapa kali seorang suami harus menggauli istrinya. Boleh seminggu sekali,dua kali atau sebulan sekali, tergantung dari kesepakatan suami istri atau kemampuan suami.

 

 

Ada kisah yang menarik dimana dalam sebuah riwayat, Khalifah Umar bin Khattab menggambarkan betapa menderitanya seorang wanita yang terlalu lama tidak melakukan hubungan suami istri berupa hubungan seksual. Pada salah satu inspeksinya di suatu malam, Khalifah Umar bin Khattab mendengar seorang wanita bersenandung,

 

 

“Malam Ini Terasa Panjang ,Tanpa teman tempat bercinta, Demi Allah, Kalau bukan karena Allah, yang tiada tuhan selainnya,   Tentu tempat tidur ini telah menggempa. Namun karena rasa takut dan maluku kepada Allah, Aku hormati suamiku, Semoga dia berhasil mencapai maksudnya….”

 

 

Umar r.a. mendatangi wanita itu dan menanyakan masalah yang dialaminya. Namun, dia menutup-nutupi dan tidak mau berterus terang. Umar sempat mengetahui bahwa suaminya adalah pejuang yang sedang bertugas di medan perang.

 

 

Mendengar itu Umar segera menemui putrinya, Hafsah r.a., dan bertanya, “Berapa lama seorang istri tahan bersabar kalau ditinggal suaminya?” Hafsah malu dan tidak menjawab. Umar berkata lagi, “Hai anakku, jawablah pertanyaanku ini, supaya ayahmu ini dapat lepas dari beban yang berat.” Hafsah r.a. menjawab, “Dua bulan. Kalau sudah tiga bulan dia akan merasa tersiksa, dan dia akan kehilangan keseimbangannya sesudah empat bulan.” Umar lalu mengumpulkan para sahabat, bermusyawarah, dan mengambil keputusan, “Seorang pejuang (mujahid) tidak boleh meninggalkan istrinya lebih dari empat bulan.”

 

 

Jadi masa empat bulan ini sebagai batas toleransi seorang suami boleh meninggalkan istri atau batas toleransi seorang suami tidak menggauli istrinya. Mungkin ada istri yang ditinggal kerja suaminya lebih dari empat dan tidak ada masalah, artinya istrinya ridha tidak digauli selama empat bulan, tentu ini tidak apa-apa. Jadi ini tergantung dari kesepakatan suami istri atau sikap istri yang rela ditinggal suaminya bekerja selama lebih dari empat bulan. Pastinya setiap suami istri mempunyai pertimbangan atau kerelaan yang berbeda-beda.

 

Terkait kasus Anda dimana suami tidak bisa melakukan hubungan intim karena sakit atau impoten, sementara istri tidak ridha, apakah istri langsung memiliki hak untuk mengajukan khuluk (gugat cerai)?

 

Untuk hal ini ada beberapa pendapat ulama yang berbeda. Pertama, seorang istri berhak mengajukan gugat cerai kepada hakim dalam hal ini di Indonesia bisa ke Pengadilan Agama. Selanjutnya hakim menunggu selama setahun. Jika dalam waktu selama setahun, suami masih tidak menggauli istrinya maka hakim berhak mengeluarkan tindakan menfasakh (menceraikan) dalam pernikahan.

 

Kedua, seorang istri tidak berhak menggugat cerai karena suami impoten, dengan alasan  penyakit impotennya tersebut masih bisa disembuhkan atau diobati dalam waktu yang tidak terlalu lama. Misalnya menurut dokter ahli yang terpercaya mengatakan bahwa sakit impotennya tersebut masih bisa disembuhkan dengan dikondisikan maka istri tidak berhak gugat cerai. Hal ini karena istri bisa bersabar dan menunggu sembuhnya.

 

Ketiga, jika dipastikan suami impoten hasil kesimpulan dokter ahli dan istri tidak ridha atau merasa terdzalimi, maka istri berhak gugat cerai tanpa harus menunggu kesembuhan suaminya. Hal ini dengan alasan bahwa hubungan suami istri itu tidak harus menunggu waktu tertentu. Misalnya ada istri tidak yang bisa menunggu selama seminggu, sebulan dan sebagainya.  Ini tergantung dari kebutuhannya atau tingkat libido yang berbeda-beda.

 

Kesimpulannya, istri berhak untuk gugat cerai karena suami impoten atau tidak bisa menunaikan kewajibannya dalam melakukan hubungan suami istri. Hanya saja, para ulama berbeda pendapat mengenai teknis dan tata caranya.

 

 

BACA JUGA: Dalam Islam Berapa Kali Hubungan Intim Harus Dilakukan Dalam Seminggu ?

 

 

Atau bisa merujuk pada Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam jo Pasal 19 PP No 9 tahun 1975  Tentang Perkawinan disitu disebutkan ada alasan atau ketentuan dalam pengajuan perceraian seorang istri kepada suaminya, seperti:

 

  1. Suami anda terbukti sudah melakukan aniaya seperti: zina, mabuk-mabukan, berjudi dan lainnya;
  2. Suami anda telah meninggalkan anda setidaknya dua tahun secara terus menerus tanpa ada izin maupun argumen/alasan yang terang dan valid, hal ini berarti: suami anda dengan secara sadar atau sengaja meninggalkan anda
  3. Suami anda terkena sangsi hukuman penjara selama lima tahun atau lebih sesudah pernikahan terjadi
  4. Suami anda berlaku kejam dan kerap menganiaya diri anda baik secara fisik maupun non fisik (memukul dan menista atau merendahkan martabat)
  5. Suami tidak bisa menunaikan kewajibannya sebagai suami dikarenakan cacat fisik maupun penyakit yang menderanya
  6. Terjadi keributan atau pertikaian terus menerus tanpa adanya jalan keluar untuk kembali hidup rukun
  1. Suami Anda secara sengaja secara sah telah melanggar taklik-talak yang diucapkannya sewaktu melangsungkan ijab-kabul.
  2. Suami berganti agama alias murtad yang menyebabkan ketidakharmonisan dalam rumah tangga.

 

Mungkin kasus Anda ini bisa dimasukan dalam poin 5 dimana “Suami tidak bisa menunaikan kewajibannya sebagai suami dikarenakan cacat fisik maupun penyakit yang menderanya”. Menunaikan kewajiban bisa diartikan sebagai kewajiban lahir dan batin. Hubungan intim atau hubungan suami istri memang bukan tujuan utama pernikahan namun sebagai salah satu penyebab keharmoniasan dalam rumah tangga. Betapa banyak rumah tangga yang hancur atau kandas disebabkan hal ini, baik perselingkungan, suami nikah lagi, suami main dengan PSK dan sebagainya.

 

Jika menurut Anda,  suami Anda tersebut telah memenuhi syarat tersebut diatas baik secara syariat Islam atau pun hukum Negara atau Undang-Undang Perkawinan dan Anda tidak terima perlakuan tersebut atau Anda tidak ridho maka silakan Anda bisa mengajukan gugat cerai lewat Pengadilan Agama. Apalagi kasus Anda sudah berjalan 2 tahun dan harus ada solusinya. Intinya suami istri tidak boleh saling menzalimi.

 

Jadi sekali lagi itu hak Anda dan Anda tentunya yang lebih paham akan kondisi yang Anda alami. Anda juga bisa konsultasi kepada ulama atau ustadz atau penasihat keluarga untuk lebih jelasnya atau dokter. Semoga Allah memberikan jalan yang terbaik. Demikian penjelasannya semoga bermanfaat.

 

Nah, terkait pembahasan masalah dan solusi hubungan suami istri lebih detail dan mendalam Anda dan juga bapak ibu sekalian bisa membaca buku saya yang berjudul “CINTA & SEKS Keluarga Muslim” yang saya tulis bersama dr Untung. Selain bahasan atau tinjauan dari sisi medis juga ada pembahasan dari sisi syar’i sehingga buku ini jauh dari kesan jorok. Insya Allah buku ini ilmiah juga syar’iyah yang sangat bermanfaat bagi suami dan juga istri. Wallahu’alam bishshawab. [ ]

5

Editor: iman

Ilustrasi foto: pixabay

970

Sampaikan pertanyaan Anda melalui alamat email:  [email protected]  atau melalui Fans Page Facebook Ustadz Aam Amiruddin di link berikut ini : https://www.facebook.com/UstadzAam/ .

Follow juga akun sosial media percikan iman di:

Instagram : @percikanimanonline

Fanspages : Percikan Iman Online

Youtube : Percikan Iman Online