Bijaklah dalam Mengatakan “Insya Allah”

0
488

“Kapan?”

“Besok, jam satu siang.”

“Oke, insya Allah.”

Dan, keesokanharinya, yang bersangkutan tidak datang. Kejadian seperti itu seolah sudah biasa di masyarakat kita. Bahkan, bila kita bilang, “Insya Allah,” orang yang diberi janji akan mengkonfirmasi,  “Insya Allah Sunda atau Islam?” Dalam benak kebanyakan orang, kalimat insya Allah dijadikan legitimasi untuk melanggar janji.

Dalam Al-Qur’an, kalimat insya Allah disebut dalam Surat Al-Kahfiayat 23-24. Dalam ayat tersebut dengan tegas dinyatakan bahwa jangan sesekali mengatakan sesuatu yang belum pasti kecuali menyebut insya Allah.

Secara harfiah, kalimat insya Allah dapat diartikan “jika Allah menghendaki.” Tentu kita selaku mahluk tidak mempunyai kuasa atau kehendak akan hari esok. Karena itu, kita sebaiknya menyerahkan segala sesuatunya pada kehendak Yangkuasa.

Makna kalimat Insya Allah juga sebenarnya sangat dalam. KH. Q. Shaleh dalam Asbabun Nuzul (1995) menukil sebuah riwayat tentang turunnya Surat Al-Kahfi ayat ke-23 dan ke-24. Ketika itu, kaum Quraisy mengutus An-Nadlr bin Al-Harts dan Uqbah bin Abi Mu’ith untuk menemui seorang pendetaYahudi di Madinah. Maksudnya untuk menanyakan perihal kenabian Muhammad Saw.

Begitu bertemu dengan pendeta yang dimaksud, oleh sang pendeta, kedua utusan itu disuruh bertanya kepada Muhammad secara langsung mengenai tiga hal. “Pertama, tanyakan tentang pemuda-pemuda pada zaman dahulu yang bepergian dan apa yang terjadi kepada mereka. Kedua, tanyakan juga tentang seorang pengembara yang sampai ke Masyriq dan Maghrib dan apa yang terjadi kepadanya. Ketiga, tanyakan pula kepadanya tentang ruh. Jika dapat menjawab, dia Nabi yang diutus. Akan tetapi, jika tidak dapat menjawab, dia hanyalah orang yang mengaku sebagai Nabi.”

Tiba di Mekah, kedua utusan tersebut bergegas menemui Muhammad Saw. dan menanyakan ketiga hal yang dipesankan oleh pendeta Yahudi. Saat itu, Rasulullah menjawab, “Aku akan menjawab pertanyaan kalian besok.” Ternyata keesokan harinya, jawaban dari langit tidak kunjung tiba. Bahkan, beberapa riwayat menyebutkan bahwa Rasul Saw. menunggu hingga lima belas hari. Alhasil, Rasul pun dicemooh oleh kaum Quraisy karena dianggap sebagai Nabi abal-abal. Kemudian, barulah malaikat Jibril turun membawa wahyu. Isinya bukan jawaban atas pertanyaan utusan kaum Quraisy, tapi teguran atas sikap Nabi Saw. yang tidak hati-hati. Tentu saja, Rasul banyak belajar atas kejadian itu, bahwa manusia tidak memiliki kuasa akan hari esok.

Sungguh agung makna kalimat insya Allah itu sebenarnya. Melalui kalimat ini, kita menunjukan ketergantungan kita pada ketentuan Allah (tauhid). Melalui kalimat ini pula, kita diajarkan untuk tidak sombong dan mengobral berjanji.

Selepas menerima pelajaran berharga dari Allah mengenai kehati-hatian dalam berjanji, Rasul pun mendapat wahyu yang isinya jawaban dari pertanyaan kaum Quraisy melalui utusannya tersebut. Jibril menyampaikan tentang pemuda-pemuda yang bepergian, yakni Ashabul Kahfi yang bersembunyi dalam gua dari kejaran kaum kafir (QS 18:9-26); seorang pengembara, yakni Zulkarnain yang menyampaikan kebenaran ajaran-Nya kepada orang-orang yang ditemui sepanjang perjalanannya (QS. 18:83-101); dan perkara ruh yang merupakan sepenuhnya pengetahuan Allah Saw. dan beliau hanya memiliki sedikit sekali pengetahuan tentangnya (Q.S.17:85). Kaum Quraisy sontak terkejut. Jawaban Rasul tersebut telah membuktikan bahwa dia benar-benar utusan Allah.

Penggunaan kalimat insya Allah benar-benar tidak bisa sembarangan. Ada konsekuensi di dalamnya. Bila kita berjanji, tentunya harus ditepati. Bukankah janji adalah utang yang harus dilunasi sebelum kita meninggal?

Jadi, sekali lagi ditegaskan bahwa kalimat insya Allah itu bukan berarti enggak janji. Jika memang tidak bisa atau tidak mau datang, bila saja terus terang. Atau bila masih ragu, cukup bilang besok dikasih kabar lagi. Selesai. (Iqbal)