PERCIKANIMAN.ID – – Secara bahasa, akidah berasal dari kata al-‘aqdu yang berarti ikatan, at-tautsiiqu yang berarti kepercayaan atau keyakinan yang kuat, al-ihkaamu yang artinya mengokohkan (menetapkan), dan ar-rabthu biquwwah yang berarti mengikat dengan kuat. Sedangkan menurut istilah, akidah adalah iman yang teguh dan pasti, yang tidak ada keraguan sedikit pun bagi orang yang meyakininya.
Jadi, akidah adalah keimanan yang teguh dan bersifat pasti kepada Allah dengan segala pelaksanaan kewajiban, bertauhid, dan taat kepada-Nya, beriman kepada malaikatmalaikat- Nya, rasul-rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, hari akhir, takdir baik dan buruk, serta mengimani semuua hal yang telah sahih tentang prinsip-prinsip agama, perkara-perkara yang gaib, dan lain-lain.
Perhatikan ayat berikut ini.
“Dan (Ingatlah) ketika Lukman berkata kepada anaknya di waktu ia memberi pelajaran kepadanya, ‘Yaa Bunayyaa Wahai anak-anakku), janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (Q.S. Lukman [31]: 13).
Pokok pikiran dari ayat tersebut adalah sikap menanamkan nilai akidah kepada anak. Mengapa harus akidah? Karena akidah adalah kerangka dasar dan landasan dalam membentuk pribadi anak yang shaleh. Pribadi yang akan membawanya selamat dunia dan akhirat. Akidah adalah modal dasar bagi anak saat mengarungi kehidupannya.
Tanpa akidah yang kuat, anak tidak akan mampu memagari virus berbahaya yang setiap waktu siap menyerang. Dengan akidah, imunitas keimanan mereka akan kuat sehingga tidak akan terjebak dalam kenistaan pada Penciptanya.
Nilai akidah adalah nilai terpenting dalam membangun asas Islam. Nilai inilah yang membuat anak tidak akan mudah digoyahkan keimanannya atau gampang terpengaruh oleh pergaulan yang sudah sangat rusak dalam lingkungannya.
Namun, sayangnya saat ini orangtua sudah tidak terlalu menganggap penanaman akidah sebagai hal yang urgen. Mereka tidak merasa sedih dan takut jika anak-anak terjebak dalam keimanan yang rapuh. Hal ini terbukti dengan tidak adanya rasa kekhawatiran dari orangtua yang anak-anaknya tidak bisa membaca Al-Quran.
Mereka justru akan menjadi sangat khawatir jika anak-anaknya tidak bisa mengerjakan soal matematika, tidak mengerti komputer, dan segala urusan duniawi lainnya. Mayoritas orangtua menganggap, hal terpenting saat ini adalah memikirkan nasib masa depan anak. Anak-anak harus jadi dokter, insinyur, tentara, dan berbagai profesi duniawi.
Hal itu tidak salah sama sekali. Hanya saja, seandainya orangtua tahu, dengan dibekali akidah sejak kecil, saat dewasa nanti pasti ia bukan hanya menjadi seorang dokter, melainkan dokter yang berjiwa penyayang; bukan hanya seorang tentara, tetapi tentara yang berakhlak mulia; bukan hanya seorang insinyur, tetapi seorang insinyur yang amanah.
Selain mengungkapkan mengenai akidah, secara tersirat dalam ayat tersebut dijelaskan pula mengenai panggilan yang pantas diucapkan kepada anak-anak, yakni “Ya bunayya” yang berarti “Wahai anak-anakku”.
Panggilan tersebut menyiratkan ungkapan kasih sayang. Kata bunayya mengandung arti kedekatan, rasa manja, kelembutan, dan kemesraan.
Meskipun begitu, hal ini tidak berarti membuat orangtua keluar dari koridor pendidikan yang disiplin dan tegas. Kedisiplinan dan ketegasan dalam proses mendidik anak bukan berarti pola pendidikan yang kaku, keras, dan kasar.
Kekerasan sikap hanya akan meninggalkan luka di dalam hati anak-anak. Sikap ini akan terus melekat dalam diri mereka sampai mereka dewasa. Jika kita berbuat kasar, bukan kasih sayang yang akan anak-anak rasakan, melainkan perasaan takut dan benci saat mereka bersama kita.
Hal ini tentu saja akan berbeda dengan pendekatan kelembutan dan kasih sayang. Sikap ini akan bisa mendekatkan anak pada orangtuanya. Mereka akan merasa aman dan nyaman saat berada dekat orangtua. Tak ada perasaan waswas dan ketakutan.
Walaupun ibu adalah orang pertama dan utama dalam pendidikan anak, ayah pun tidak boleh melepaskan tanggung jawab dalam menempa masa depan mereka. Masyarakat saat ini menempatkan ibu sebagai pilar pendidikan dan tokoh utama dalam menanamkan kebaikan pada anak.
Alasannya, ibu merupakan sosok yang akan lebih sering berinteraksi dan bercengkerama dengan mereka. Sementara ayah, posisinya lebih pada penanggung jawab ekonomi dalam keluarga.
Padahal, jika diperhatikan, ayat tersebut juga menyiratkan bahwa peran ayah juga sangat krusial. Jangan sampai anak hanya berinteraksi dengan ayahnya saat mereka membutuhkan materi, tetapi tidak saat bersinggungan dengan hal lainnya.
Tugas mendidik anak adalah tugas bersama antara suami dan istri, antara ayah dan ibu. Mereka harus bertanggung jawab dan bekerja sama agar anak bisa menjadi manusia seutuhnya. [ ]
Dikutip dari buku “ Golden Parenting ” karya Dr.Aam Amiruddin, M.Si
5
Red: admin
Editor: iman
956