Kehamilan Yang Didamba  Antara Ikhtiar, Doa, Tawakal, dan Takdir

0
1098

PERCIKANIMAN.ID – – Untuk menghadapi hal yang pahit tersebut, tentunya diperlukan mental yang tangguh. Pertanyaannya adalah bagaimana mempersiapkan mental yang tangguh? Yaitu dengan memahami makna takdir.

Ketika seorang manusia telah dapat memahami makna takdir dengan pemahaman yang benar dan utuh, ketika hasil yang didapat tak sesuai dengan harapan, ia takkan menganggap ikhtiar yang telah dilakukan dengan optimal sebagai upaya yang sia-sia.

Takdir berasal dari kata qodaro-yaqdiru-qudrotan yang artinya “batasan kekuatan”. Dalam kajian Islam, kata qadar sering dipasangkan dengan kata qodlo. Keduanya merupakan salah satu dari rukun iman. Keimanan berkaitan dengan hal yang bersifat abstrak (gaib).

Begitu juga dengan qodlo dan qodar. Secara konkret, kita mengetahui bahwa tidak ada satu benda di dunia ini yang tidak memiliki ukuran-ukuran, baik itu ukuran kuantitas maupun ukuran kualitas. Ukuran-ukuran itulah yang dinamakan dengan qodar.

Dengan memanfaatkan ukuran-ukuran yang dimiliki setiap benda, manusia dapat mengambil nilai manfaat yang dimiliki benda tersebut untuk kepentingan hidupnya. Sebaliknya, apabila ukuran-ukuran benda itu tidak diperhitungkan, benda akan memberikan mudarat bagi kehidupan manusia.

Meskipun demikian, karena keterbatasan manusia, terjadi juga ketika ukuran-ukuran benda tersebut telah dimanfaatkan sebagaimana mestinya, ternyata hasilnya tidak sesuai dengan kemestian menurut pengetahuan yang telah didapat mengenai ukuran benda tersebut sehingga dianggap sebagai penyimpangan alam.

Timbul pertanyaan, benarkah itu sebuah penyimpangan dari hukum alam atau karena pengetahuan manusia baru sampai pada batas itu, sementara rahasia tersembunyi lainnya dari benda tersebut belum diketahui? Atau mungkin ini adalah sebuah demonstrasi Ilahiah untuk mengingatkan manusia bahwa ada yang lebih tahu dari dirinya tentang kehidupan. Inilah yang disebut dengan qodlo.

Hikmah dari keimanan terhadap qodlo dan qodar adalah manusia akan selalu berpikir positif terhadap peristiwa-peristiwa yang menimpa dirinya dalam kehidupan ini. Ketika dirinya mengalami peristiwa yang sesuai dengan keinginannya, ia tidak akan menjadi lupa diri.

Apabila peristiwa itu tidak sesuai dengan kehendaknya, ia tidak menjadi putus asa. Sebab, ia meyakini bahwa tidak ada satu kejadian di alam dunia ini yang lepas dari campur tangan Allah sebagai pencipta.

Dalam Al Quran, tidak ditemukan bahwa Allah akan meminta pertanggungjawaban manusia dari persoalan qodlo dan qodar-nya, tetapi yang dipintai pertanggungjawaban adalah sejauh mana manusia beramal sesuai dengan ketentuan (qodar) yang ditetapkan oleh Allah (qodlo).

Dengan demikian, kita bisa memahami bahwa apabila seseorang mengalami musibah di dunia ini setelah ia menjalani hidupnya sesuai dengan aturan Allah kemudian menyikapinya dengan sabar, hal itu akan mengurangi dosa orang tersebut. Sebagaimana dinyatakan Rasulullah bahwa bila seseorang ditimpa musibah, kemudian dia bersabar, kesabarannya akan mengurangi dosa-dosanya.

Dengan telah ditetapkannya qodlo dan qodar, ketika seseorang di akhirat nanti mendapatkan kerugian, hal itu bukan karena ketidakadilan Allah, tetapi akibat dari kesalahan manusia itu sendiri yang tidak mengikuti qodlo dan qodar yang ditetapkan-Nya.

Analoginya, bila seseorang telah makan sesuai standar gizi (empat sehat lima sempurna), olahraga teratur, istirahat cukup, pikiran tenang, udara serta lingkungan bersih, secara qodar orang tersebut seharusnya sehat. Namun, yang terjadi tidak selalu demikian, ada saja orang yang sudah dalam kondisi seperti itu, ternyata ia sakit juga. Inilah yang disebut qodlo.

Dalam hal ini, kita harus meyakini, bila qodar sudah dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, ternyata qodlo-nya tidak baik, hal itu merupakan ujian dalam kehidupan yang harus disikapi sebagai kasih sayang Allah kepada kita yang hikmahnya belum kita pahami. Bukankah Allah berfirman,

(155). وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ ۗ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ

(156). الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ

Dan Kami akan menguji kalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan, berkurang jiwa dan harta, dan buah-buahan. Maka, gembirakanlah orang-orang yang sabar, yaitu apabila ditimpa musibah, ia berkata, “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun”. ‘(Sesungguhnya kami dari Allah dan akan kembali pada-Nya).’” (Q.S. Al Baqarah [2]: 155-156)

Dari ayat tersebut dapat kita pahami bahwa suatu hal yang wajar bila seseorang ditimpa musibah mengalami kesedihan. Bukankah Rasulullah saw. ketika ditinggalkan istri dan pamannya sangat sedih sehingga tahun kematian kedua orang yang dicintainya itu dikenal dengan tahun duka cita?

Dalam keadaan demikian, kewajiban orang-orang di sekitarnyalah untuk memberikan motivasi hidup sehingga kesedihannya tidak berlarut-larut. Inilah yang dimaksud dengan ungkapan, gembirakanlah orang-orang yang sabar.

Artinya, orang yang sabar adalah mereka yang tidak larut dalam kesedihan ketika musibah itu menimpa. Hal ini hanya mungkin terjadi bila ada kesadaran terhadap qodlo dan qodar.

Dengan pemahaman terhadap qodlo dan qodar, tugas kita adalah sedapat mungkin melakukan ikhtiar sesuai dengan ketentuan sunatullah (hukum alam) dalam menghadapi persoalan-persoalan kehidupan.

Tentu saja kita tidak sekadar memiliki optimisme untuk mengatasi persoalan itu hanya karena telah mengikuti ketentuan sunatullah, tetapi kita pun harus menyadari bahwa ada hal-hal yang masih banyak yang belum kita pahami dari kehidupan ini sehingga ketika terjadi sesuatu yang menurut kita seharusnya tidak terjadi, hal itu kita anggap sebagai satu pelajaran yang harus dipikirkan lebih lanjut.

Atau mungkin hal itu dimaksudkan untuk mengingatkan kita agar lebih dekat berhubungan dengan Allah Yang Maha Menentukan segalanya. Bukankah Allah telah berfirman,

(216). وَعَسَىٰ أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ……..

“…….Bisa jadi kamu benci kepada satu perkara, padahal perkara itu baik untuk kamu. Dan bisa jadi kamu suka kepada satu perkara, padahal perkara itu buruk untukmu. Allah lebih mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (Q.S. Al Baqarah 2: 216)

Intinya bagi pasangan suami istri yang belum Allah karuniai buah hati untuk tidak putus asa . Jangan lelah berharap, berdoa dan ikhtiar semaksimal mungkin. Semoga Allah segera memberi amanah buah hati bagi ayah bunda. [ ]

 

Sumber: disarikan dari buku “ Kehamilan yang Didamba “ karya dr. H. Hanny Ronosulistyo, Sp.OG(K)., M.M. & Dr. H. Aam Amiruddin

 

5

Red: admin

Editor: iman

936