Uang Pemberian Orangtua Untuk Menafkahi Istri, Boleh atau Tidak?

0
1056

 
Assalamu’alaykum. Pak Ustadz, saat ini saya masih kuliah demikian juga dengan calon suami. Namun calon suami mengajak menikah dengan alasan untuk menghindarkan diri dari dosa. Terus terang calon suami juga belum bekerja dan selama ini masih mengandalkan uang kiriman dari orang tuanya. Bolehkah uang kuliah pemberian orangtua untuk menafkahi istri? Apakah menunda menikah sama dengan menunda perintah Allah? Mohon nasihatnya dan terima kasih ( G via fb )
 
 
 
Wa’alaykumsalam ww. Bapak ibu dan sahabat-sahabat sekalian yang dirahmati Allah. Pernikahan merupakan institusi agung untuk mengikat dua insan lawan jenis dalam satu ikatan keluarga. Al-Qur’an mengistilahkan ikatan pernikahan dengan mistaqan ghalizhan, artinya perjanjian kokoh/agung yang diikat dengan sumpah.
 
 
Al-Qur’an menggunakan istilah mitsaqan ghalizhan minimal dalam tiga konteks. Pertama, konteks ikatan pernikahan (Q.S. An-Nisā’ [4]: 21). Kedua, konteks perjanjian Allah Swt. dengan Bani Israil (Q.S. An-Nisā’ [4]: 154). Ketiga, konteks perjanjian Allah Swt. dengan para Nabi-Nya bahwa mereka akan menyampaikan ajaran agama kepada umatnya masing-masing (Q.S. Al-Aĥzāb [33]: 7).
 
 
 
Menganalisis konteks mistaqan ghalizhan yang digunakan Al-Qur’an, bisa ditarik benang merah bahwa ikatan pernikahan itu nilai keagungannya sekaliber perjanjian antara Allah Swt. dengan Bani Israil dan selevel dengan perjanjian antara Allah Swt. dengan para Nabi-Nya.
 
 
Jadi, cukup logis kalau pernikahan itu dinilai bukan sekadar tali pengikat untuk menyalurkan kebutuhan biologis (tiket hubungan seksual yang sah), tetapi juga harus menjadi media aktualisasi ketakwaan. Karena itu, untuk memasuki jenjang pernikahan, dibutuhkan persiapan-persiapan yang matang: kematangan fisik, psikis, maupun spritual.
 
 
Persiapan matang itu diperlukan karena begitu terjadi ikatan pernikahan, akan lahir hak dan kewajiban suami-istri. Hak dan kewajiban ini orientasi dominannya tidak hanya sekadar pemenuhan kebutuhan biologis, tapi justru yang paling dominan adalah orientasi pada aktualisasi ketakwaan.
 
 
Akhir-akhir ini mengemuka fenomena mahasiswa yang menjalankan pernikahan lebih dini dengan niat untuk menghindarkan diri dari perbuatan dosa. Cara ini diyakini sebagai jalan keluar terbaik untuk menghindarkan diri dari seks bebas (free sex).
 
 
Sesungguhnya, bila ditinjau dari segi niat (menjauhi zina), hal itu sudah sesuai dengan ajaran Islam, sebagaimana firman-Nya,
 
“Jangan kamu dekati zina. Sungguh, zina itu perbuatan keji dan jalan yang buruk.” (Q.S. Al-Isrā’ [17]: 32).
 
Masalahnya, apakah pernikahan yang begitu agung cukup hanya berbekal niat menjauhi zina? Kalau demikian, kedudukan institusi nikah menjadi sangat sempit; sekadar tiket hubungan seksual!
 
 
Fakta empirik menunjukkan bahwa mayoritas mahasiswa secara material masih mempunyai ketergantungan yang kuat pada orang tuanya. Jadi cukup logis kalau ada hipotesis yang menyatakan bahwa memasuki jenjang pernikahan semasa kuliah hanya akan menambah beban orang tua, juga hak dan kewajiban suami-istri yang merupakan konsekuensi logis dari akad nikah tidak akan terlaksana secara sempurna.
 
Saat dikedepankan, hipotesis ini sering dibantah dengan pernyataan bahwa yang memberi dan mengatur rezeki itu Allah Swt., bukan manusia, kalau kita menikah dengan niat karena Allah, pasti Allah akan memberikan rezeki-Nya. Seraya mengutip ayat yang berbunyi,
 
 
Nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antaramu, … Jika mereka miskin, Allah akan memberikan kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Allah Mahaluas pemberian-Nya, Maha Mengetahui.” (Q.S. An-Nūr [24]: 32)
 
Keyakinan bahwa Allah sebagai pengatur dan pemberi rezeki memang benar, bahkan ada ayat yang lebih tegas lagi,
 
Tidak ada satu pun makhluk bernyawa di bumi melainkan Allah menjamin rezeki mereka…” (Q.S. Hūd [11]: 6).
 
Masalahnya, apakah rizki itu akan datang begitu saja tanpa usaha? Bukankah seekor semut pun saat akan mengisi perutnya harus berusaha keluar dari sarangnya?
 
Jadi, firman Allah dalam Q.S. An-Nūr [24]: 32 harus dipahami secara holistik, tidak parsial dan sporadis. Ayat ini jangan dijadikan landasan untuk berbuat nekat, tapi justru harus disikapi dengan penuh perhitungan, artinya kalau secara material belum mampu, jangan dipaksakan hanya dengan berbekal keyakinan bahwa Allah Swt. pemberi rezeki.
 
Bersikap realistislah, kalau memang kita masih punya ketergantungan material kepada orang tua yang cukup kuat, alangkah bijaksana kalau pernikahan itu ditangguhkan dulu dengan tetap menjaga kesucian diri (menghindari dosa). Hal ini bisa dibaca pada ayat berikutnya,
 
Orang-orang yang tidak mampu menikah hendaklah menjaga kesucian dirinya sampai Allah memberikan kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya…” (Q.S. An-Nūr: 33)
 
Dalam riwayat Imam Muslim, Rasulullah Saw. pernah menasihati orang-orang yang belum menikah. Sabdanya, “Wahai pemuda! Siapa di antara kamu yang sudah mencapai ba’ah (mampu menikah), maka menikahlah karena itu akan lebih menjaga mata dan kehormatanmu. Dan siapa yang belum mampu, maka shaumlah karena shaum merupakan benteng (dari perbuatan zina).”
 
Hadis ini mengisyaratkan bahwa Rasulullah Saw. menyarankan kepada orang yang sudah mampu, agar segera menikah, sementara kepada yang belum mampu, Rasul memberi jalan keluar untuk menangguhkan pernikahan, yaitu dengan melaksanakan shaum, karena shaum merupakan benteng. Ungkapan ini merupakan isyarat bahwa kita diperbolehkan menangguhkan pernikahan untuk lebih mematangkan persiapan.
 
Oleh karena itu, para ahli fikih mendudukkan hukum pernikahan pada empat hukum.

  1. Wajib menikah bagi orang yang sudah punya calon istri atau suami dan mampu secara fisik, psikis, dan material, serta memiliki dorongan seksual yang tinggi, sehingga dikhawatirkan kalau pernikahan itu ditangguhkan akan menjerumuskannya pada zina.

 
 
2.  Sunah (thatawwu’) menikah bagi orang yang sudah punya calon istri atau suami dan sudah mampu  secara fisik, psikis, dan material, namun masih bisa menahan diri dari perbuatan zina.
 

  1. Makruh (tidak dianjurkan) menikah bagi orang yang sudah punya calon istri atau suami, namun belum mampu secara fisik, psikis, atau material. Karenanya, harus dicari jalan keluar untuk menghindarkan diri dari zina, misalnya dengan shaum dan lebih meningkatkan taqarrub diri kepada Allah dengan ibadah-ibadah lainnya.

 

  1. Haram menikah bagi mereka yang seandainya menikah akan merugikan pasangannya serta tidak menjadi kemaslahatan (kebaikan).

 
Kedudukan hukum yang beragam ini mengisyaratkan bahwa hukum pernikahan itu sangat kondisional. Oleh karena itu, sebelum memasuki jenjang pernikahan, kita harus mempertimbangkan kondisi yang akan dihadapi alias berpikir secara matang, jangan menyederhanakan masalah.
 
Lalu saat ini Anda berdua masih berstatus sebagai mahasiswa, kemudian untuk kehidupan kesehariannya calon suami Anda tidak bekerja dan masih mengandalkan kiriman dari orang tuanya misalnya sebesar Rp. 1.500.000 per bulan.
 
Kemudian uang kuliah tersebut dipakai juga untuk menafkahi Anda sebagai istrinya. Apakah ini boleh ?. Tentu kalau sekedar boleh atau tidaknya maka jawabannya boleh, sebab itu uang sudah menjadi milik suami Anda. Tetapi kalau berbicara etika atau kemampuan dan harga diri tentu jawabannya tidak sekedar boleh atau tidak boleh.
 
Uang itu amanahnya untuk biaya kuliah, kemudian dipakai untuk memberi atau menafkahi istri. Lalu dimana harga dia sebagai seorang laki-laki juga sebagai suami? . Padahal seorang suami bukan sekedar mampu  secera fisik untuk menikah tetapi juga mampu secara financial untuk memberi nafkah kepada istri dan keluarganya dari hasil dia bekerja.
 
Mungkin saat ini uang pemberian orangtuanya untuk kuliah dan memberi nafkah kepada Anda cukup. Tetapi ketika Anda hamil dan mempunyai anak tentu sudah berbeda tuntutan kebutuhannya. Ini yang perlu dipikirkan dan dipertimbangkan secara dewasa.
 
Menurut hemat saya, alangkah bijaksananya  kalau Anda berdua menangguhkan dulu pernikahan sambil mendewasakan diri, dan carilah jalan keluar yang positif. Belajar yang sungguh-sungguh agar cepat selesai kuliah, cepat bekerja, cepat dewasa, dan bisa mandiri. Ini dalam terminologi hadis disebut al ba’ah.
 
Dengan cara seperti ini, insya Allah bahtera rumah tangga bisa dijalani dengan persiapan yang matang. Suatu aksioma menyatakan,sesuatu yang dihadapi dengan persiapan matang hasilnya akan lebih baik dibandingkan dengan tanpa persiapan.
 
Anda juga perlu mempersiapan generasi atau putra putri Anda berikutnya, baik pendidikannya, kesehatannya dan kesejahteraan yang lainnya. Jadi jangan sekedar memikirkan diri Anda sendiri ( suami istri) tetapi juga generasi berikutnya.
 
 

BACA JUGA: Memisahkan Harta Sebelum Menikah, Boleh atau Tidak ?

 
Kemudian apakah menunda menikah sama dengan menunda perintah Allah?. Tentu saja tidak demikian, kalau menikah dan membina keluarga kita maknai sebagai sebuah ibadah maka perlu disiapkan dengan matang. Haji juga ibadah maka diperlukan persiapan yang matang, bekalnya, fisiknya dan sebagainya. Demikian juga dengan pernikahan yang bukan sekedar untuk sehari, sebulan , setahun tetapi selama mungkin sehingga perlu persiapan dan kesiapan yang matang sehingga akan terbentuk dan terwujud keluarga yang sakinah, wadah dan penuh rahmah.  Demikian penjelasannya semoga bermanfaat.
 
 
Nah, terkait dengan pembahasan dan tips membentuk serta membangun keluarga yang sakinah dan harmonis, Anda dan mojang bujang sekalian bisa membaca buku saya yang berjudul, “INSYA ALLAH SAKINAH“. Dalam buku ini ada beberapa tips serta contoh kasus rumah tangga berikut solusinya dikemas dengan pembahasan sesuai tutunan Islam dan mudah dipahami. Wallahu’alam bishawab. [ ]
 

5
Editor: iman
Ilustrasi foto: pixabay
650
Sampaikan pertanyaan Anda melalui alamat email:  [email protected]  atau melalui Fans Page Facebook Ustadz Aam Amiruddin di link berikut ini : https://www.facebook.com/UstadzAam/ .
 

Follow juga akun sosial media percikan iman di:

Instagram : @percikanimanonline

Fanspages : Percikan Iman Online

Youtube : Percikan Iman Online

Twitter: percikan_iman