Assalamu’alaykum. Pak Ustadz, saya mau nanya tentang proses ta’aruf, sudah berjalan sebulan. Dan saya akan melanjutkan ke proses berikutnya. Setahu saya yang dicontohkan oleh Rasulullah itu setelah ta’aruf kemudian khitbah. Namun ada tradisi di keluarga laki-laki setelah ta’aruf itu mahram, saya kurang paham dengan mahram. Apa sudah sesuai sunnah yang diajarkan Rasulullah? Katanya proses mahram disini sama seperti akad nikah, tetapi tidak ada penghulu dan tidak ada melalui KUA. Terjadi akad nikah tetapi tidak dicatat. Hanya ada wali, saksi, ijab Kabul, mahar. Dan dikatakan hubungan kami sah secara Agama tetapi belum sah secara Negara. Bolehkah hal ini dilakukan? Mohon penjelasannya. (Hen** via email)
Wa’alaykumsalam ww. Bapak ibu dan sahabat-sahabat sekalian yang dirahmati Allah. Tentu kalau sudah ada akad nikah itu berarti bukan calon lagi. Melainkan sudah menjadi pasangan suami istri. Dia sudah jadi suami Anda dan Anda sudah sah menjadi istrinya. Jadi kalau sudah terjadi akad nikah, bukan calon lagi.
Nah,memang di negeri kita ini ada berbagai macam kultur khususnya yang dikaitkan dalam proses pernikahan. Bisa jadi disetiap daerah atau wilayah mempunyai budaya atau tradisi yang berbeda-beda. Kebanyak memang bukan syarat sahnya pernikahan secara syari. Tetapi dianggap belum sah atau sempurna jika tradisi tersebut tidak dilalui.
Dalam Islam sendiri ada proses menuju pernikahan yang namanya ta’aruf, khitbah, nikah. Ta’aruf itu artinya berusaha memahami, mengenali, mengetahui calon pasangan kita. Kita kenali keluarganya, kita cari tahu orang tuanya bagaiman, yak kan? Tapi ingat tidak akan tuntas sebelum pernikahan.
Ta’aruf itu kan hanya saling mengenal. Dalam Al Quran disebutkan tepatnya dalam surat Al-Hujurat,dimana Allah Swt berfirman,
يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا
“Hai manusia sesungguhnya kami telah menciptakan kalian dari seorang pria dan seorang wanita, lalu menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal (li-ta’arofu) …” (QS. al-Hujurat: 13).
Ta’aruf sebelum menikah itu hanya sebatas mengenal yang diluar saja. Nanti kalau kita tahu laki-laki yang ada dihadapan kita, perempuan yang dihadapan kita itu setelah menikah. Jadi sebenarnya ta’aruf itu mengenal secara luarnya saja, masih permukaan maka ta’aruf itu jangan terlalu lama.
Kemudian yang perlu dipahami ta’aruf itu bukan pacaran sebab dalam Islam tidak ada istilah pacaran. Jangan jadi alasan kalau sudah ta’aruf bukan berarti boleh atau bisa pergi berduaan kemana-mana. Ingat ta’aruf bukan pacaran. Dalam haditsnya Rasulullah Saw memperingatkan dilarangan berduaan lawan jenis,
لاَ يَخْلُوَنَّ أَحَدُكُمْ بِامْرَأَةٍ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ ثَالِثُهُمَا
“Jangan sampai kalian berdua-duaan dengan seorang wanita (yang bukan mahramnya), karena setan adalah orang ketiganya.” (HR. Ahmad).
Ini harus menjadi perhatian khususnya generasi muda muslim agar tidak menjadi pintu ta’aruf untuk memasuki dunia pacaran. Para orang tua juga harus memberi tahu dan menjaga putra-putrinya agar tidak terjebak dengan istilah ta’aruf yang dimanfaatkan untuk aktivitas pacaran.
Jadi yang namanya ta’aruf itu hanya sebetas kenal sebelum menikah. Kenal orangnya,keluarganya bahkan boleh melihat wajah calonnya. Dalam haditsnya Rasul berpesan,
إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ الْمَرْأَةَ، فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ مِنْهَا إِلَى مَا يَدْعُوْهُ إِلَى نِكَاحِهَا، فَلْيَفْعَلْ
“Apabila seseorang di antara kalian ingin meminang seorang wanita, jika dia bisa melihat apa-apa yang dapat mendorongnya untuk menikahinya maka lakukanlah!” (HR. Ahmad dan Abu Dawud )
Maksudnya jangan sampai Anda mau menikah tetapi tidak mengenal sama sekali calonnya. Jadi boleh mengenal atau melihat calonnya sebelum proses melamar atau khitbah kemudian dilanjutkan menuju akad nikah atau pernikahan.
BACA JUGA: Cara Melakukan Ta’aruf Dalam Islam
Kemudian kalau sudah akad nikah justru kita akan belajar bagaimana tabi’at suami, tabi’at istri, bagaimana menghadapinya, bagaimana cara bicara pasangan. Nah dari ta’aruf itu ke proses khitbah. Khitbah itu adalah pernyataan dari keluarga pria ke keluarga wanita, jadi itu lebih kepada resminya keluarga pria mendatangi keluarga wanita.
Sebenarnya dalam Islam khitbah itu bisa juga dilakukan dari keluarga wanita kepada keluarga pria. Itu secara syari’at. Tapi dalam budaya kita, biasanya itu yang dating menghampiri adalah keluarga pria.
Nah dari situ ada akad nikah. Memang urutannya seperti itu. Tapi ada juga suatu budaya di lingkungan tertentu dimana setelah ta’aruf itu langsung dihalalkan saja, istilahnya dimahramkan saja. Jadi halal maksudnya langsung seperti menikah, ada wali, ada mahar, ada ijab kabul, ada saksi, yaitu terjadi pernikahan. Secara Agama sah.
Berarti Anda berhubungan dengan pasangan itu sudah menjadi muhrim. Sudah menjadi pasangan suami istri yang sah. Jadi kalau Anda bertanya boleh tidak pegangan tangan. Ya tentu boleh karena secara syari’at agama kan sudah sah.
Lalu setelah itu nanti diadakannya pencatatan yang dihadiri oleh pihak KUA. Karena memang petugas KUA kan melakukan pencatatan saja. Yang menikahkan tetap ayahnya. Yang jadi wali itu bapaknya, yang jadi saksi itu yang ditunjuk oleh dua belah pihak keluarga. Kalau KUA tugasnya pencatatan.
Jadi memang demikian sekiranya ada budaya seperti itu di lingkungan Anda, menurut hemat saya itu tidak melanggar syari’at. Bisa dipahami khawatir ini orang tua, takut anak-anaknya terjerumus dosa, jadi langsung saja dinikahkan secara agama atau syariat. Nanti berikutnya ada suatu prosesi dimana akan dinikahkan secara negara, ada petugas dari KAU yang akan mencatat.
BACA JUGA: Menunda Nikah Karena Ingin Kuliah, Apakah Dibolehkan ?
Selanjutnya dalam beberapa hari akan diterbitkan atau diberikan buku nikah atau akta nikah. Ini berarti pernikahan Anda sudah tercatat resmi oleh negara. Pernikahan Anda sudah sah secara syariat juga secara hukum atau undang-undang negara.
Kemudian dalam proses akad nikah biasanya ada yang dilanjutkan dengan acara walimahan atau resepsi. Mengundang tetangga,kerabat,teman dan masyarakat sekitar. Lagi-lagi ini juga ada unsur budaya atau tradisinya. Besarnya walihaman juga tidak ada ketentuannya. Sesuai dengan kemampuan saja dan jangan dipaksakan. Kalau pun tidak ada resepsi dan hanya dihadiri keluarga juga pernikahan tetap sah. Jadi saya melihat ini tidak ada sesuatu yang salah. Demikian penjelasannya semoga bermanfaat.
Nah, terkait dengan pembahasan dan tips membentuk serta membangun keluarga yang sakinah dan harmonis, Anda dan mojang bujang sekalian bisa membaca buku saya yang berjudul, “INSYA ALLAH SAKINAH“. Dalam buku ini ada beberapa tips serta contoh kasus rumah tangga berikut solusinya dikemas dengan pembahasan sesuai tutunan Islam dan mudah dipahami. Wallahu’alam bishawab. [ ]
5
Editor: iman
Ilustrasi foto: creativo
980
Sampaikan pertanyaan Anda melalui alamat email: [email protected] atau melalui Fans Page Facebook Ustadz Aam Amiruddin di link berikut ini : https://www.facebook.com/UstadzAam/ .
Follow juga akun sosial media percikan iman di:
Instagram : @percikanimanonline
Fanspages : Percikan Iman Online
Youtube : Percikan Iman Online
Twitter: percikan_iman