Teladan Kepemimpinan Khalifah Ali bin Abi Thalib RA

0
645

 

PERCIKANIMAN.ID – – Khalifah ke 4 adalah Ali bin Abi Thalib. Ia adalah keponakan sekaligus menantu Rasulullah Muhammad Saw. Ketika Rasul wafat, beliau tidak meninggalkan wasiat mengenai siapa yang akan menggantikan beliau sebagai pemimpin politik umat Islam setelah beliau wafat. Beliau tampaknya menyerahkan persoalan itu kepada kaum Muslimin untuk menentukannya sendiri. Kaena itu, tidak lama setelah beliau wafat; belum lagi jenazahnya dimakamkan, sejumlah tokoh Muhajirin dan Ashor Berkumpul di balaikota Bani Sa’dah, Madinah.

 

 

Mereka memusyawarahkan siapa yang akan menjadi pemimpin. Musyawarah itu berjalan cukup alot sebab masing-masing pihak, baik pihak Muhajirin atau Anshar merasa berhak menjadi pemimpin Umat Islam, namun dengan semangat ukhuwah Islamiyah tinggi, akhirnya Abu Bakar terpilih melalui musyawarah itu. Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib adalah Khalifah keempat setelah Khalifah Usman Ibnu Affan. Nama lengkap beliau adalah Ali Ibnu Abi Thalib Ibnu Abdul Muthalib Ibnu Hasyim Ibnu Abdi Manaf.

 

 

Beliau lahir 32 tahun setelah kelahiran Rosulullah Saw. Dan beliaupun termasuk anak asuh Nabi Muhammad Saw. Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib boleh dibilang tangan kanan Nabi Muhammad Saw, saat di Madinah. Proses pengangkatan beliau sebagai Khalifah yang mula-mula di tolak oleh beliau sebab situasi yang kurang tepat yang banyak terjadi kerusuhan disana sini. Dan sebab waktu itu masyarakat butuh pemimpin akhirnya sebab desakan masyarakat untuk menjadikan Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib menjadi pemimpin pun akhirnya diterima.

 

 

Pada tanggal 23 Juni 656 Masehi, beliau resmi menjadi Khalifah. Yang menjadi catatan bagi sosok khalifah seperti Ali Bin Abi Thalib adalah pribadinya yang pernah menolak jadi Pemimpin Islam sebagaimana dikutif pada uraian di atas. Olehnya itu, jika dibawa pada konteks kekinian, maka sangat sulit kita mendapatkan sosok manusia yang menolak jadi pemimpin, bahkan yang terjadi saat ini adalah kecenderungan untuk bersaing dan saling merebut kekuasaan hingga pertumpahan dara atau menjual aqidah demi kekuasaan.

 

 

Sosok Khalifah Ali Bin Abi Thalib r.a. Ali Bin Abu Thalib bin Abdul Muththalib, bin Hasyim, bin Abdi Manaf, bin Qushayy. Ibunya adalah: Fathimah binti Asad, bin Hasyim, bin Abdi Manaf. Saudara-saudara kandungnya adalah: Thalib, ‘Uqail, Ja’far dan Ummu Hani. Dengan demikian, jelaslah, Ali adalah berdarah Hasyimi dari kedua ibu-bapaknya. Keluarga Hasyim mempunyai sejarah yang cemerlang dalam masyarakat Mekkah. Sebelum datangnya Islam, keluarga Hasyim terkenal sebagai keluarga yang mulia, penuh kasih sayang, dan pemegang kepemimpinan masyarakat.

 

 

Ibunya adalah Fathimah binti Asad, yang lalu menamakannya Haidarah. Haidarah adalah salah satu nama singa, sesuai dengan nama ayahnya: Asad (singa). Fathimah adalah salah seorang wanita yang terdahulu beriman dengan Risalah Nabi Muhammad Saw. Ia pula-lah yang telah mendidik Nabi Saw, dan menanggung hidupnya, setelah meninggalnya bapak-ibu beliau, Abdullah dan Aminah. Beliau lalu membalas jasanya, dengan menanggung kehidupan Ali, untuk meringankan beban pamannya, Abu Thalib, pada saat mengalami kesulitan ekonomi.

 

 

Saat Fathimah meninggal dunia, Rasulullah Saw yang mulai mengkafaninya dengan baju qamisnya, meletakkannya dalam kuburnya, dan menangisinya, sebagai tangisan seorang anak atas ibunya. Dan sebab penghormatan beliau kepadanya, maka beliau menamakan anaknya yang tersayang dengan namanya: Fathimah. Darinyalah lalu mengalir nasab beliau yang mulia, yaitu anak-anaknya: Hasan, Husein, Zainab al Kubra dan Ummu Kultsum.

 

Haidarah adalah nama Imam Ali yang dipilihkan oleh ibunya. Namun ayahnya menamakannya dengan Ali, sehingga ia terkenal dengan dua nama itu, walaupun nama Ali lalu lebih terkenal. Anak-anaknya adalah: Hasan, Husein, Zainab, Ummu Kultsum, dari Fathimah binti Muhammad saw., seorang isteri yang tidak pernah diperlakukan buruk oleh Ali r.a. selama hidupnya.

 

 

Bahkan Ali tetap selalu mengingatnya setelah kematiannya. Dia juga mempunyai beberapa orang anak dari isteri-isterinya yang lain, yang dia kawini setelah wafatnya Fathimah r.a. Baik isteri dari kalangan wanita merdeka atau hamba sahaya. Yaitu: Muhsin, Muhammad al Akbar, Abdullah al Akbar, Abu Bakar, Abbas, Utsman, Ja’far, Abdullah al Ashgar, Muhammad al Ashghar, Yahya, Aun, Umar, Muhammad al Awsath, Ummu Hani, Maimunah, Rahmlah ash Shugra, Zainab ash Shugra, Ummu Kaltsum ash Shugra, Fathimah, Umamah, Khadijah, Ummu al Karam, Ummu Salmah, Ummu Ja’far, Jumanah, dan Taqiyyah. Kekhalifahan Ali Bin Abi Thalib r.a.

 

Kepemimpinan Ali bin Abi Thalib

 

Setelah ‘Utsman ra. syahid, Ali ra. diangkat menjadi khalifah ke-4. Awalnya beliau  menolak, namun akhirnya beliau menerimanya. Imam Ahmad meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Muhammad bin Al-Hanafiyah berkata: …..Sementara orang banyak datang di belakangnya dan menggedor pintu dan segera memasuki rumah itu. Kata mereka: “Beliau (Utsman ra.) telah terbunuh, sementara rakyat harus punya khalifah, dan kami tidak mengetahui orang yang paling berhak untuk itu kecuali anda (Ali ra.)”. Ali ra. berkata kepada mereka: “Janganlah kalian mengharapkan saya, sebab saya lebih senang menjadi wazir (pembantu) bagi kalian daripada menjadi Amir”.

 

Mereka menjawab: “Tidak, demi Allah, kami tidak mengetahui ada orang yang lebih berhak menjadi khalifah daripada engkau”. ‘Ali ra. menjawab: “Jika kalian tidak menerima pendapatku dan tetap ingin membaiatku, maka baiat itu hendaknya tidak bersifat rahasia, tetapi aku akan pergi ke masjid, maka siapa yang bermaksud membaiatku maka berbaiatlah kepadaku”. Pergilah ‘Ali ra. ke masjid dan orang-orang berbaiat kepadanya.

 

Dalam Tarikh Al-Ya’qubi dikatakan: ‘Ali bin Abi Thalib (ra.) menggantikan ‘Utsman sebagai khalifah… dan ia (ra.) dibaiat oleh Thalhah (ra.), Zubair (ra.), Kaum Muhajirin dan Anshar (radhiyaLlahu anhum). Sedangkan orang yang pertama kali membaiat dan menjabat tangannya adalah Thalhah bin Ubaidillah (ra.). Imam Ahmad, Abu Daud dan At-Tirmidzy mentakhrij hadits berasal dari Safinah ra., dia berkata: Aku mendengar RasuluLlah saw. bersabda: Kekhilafahan berlangsung selama 30 tahun dan setelah itu adalah kerajaan.” Safinah ra. berkata: “Mari kita hitung, Khilafah Abu Bakar ra. berlangsung 2 tahun, Khilafah ‘Umar ra. 10 tahun, Khilafah ‘Utsman ra. 12 tahun, dan Khilafah ‘Ali ra. 6 tahun.”

 

 

Ali ra. bekerja keras pada masa kekhilafahannya guna mengembalikan stabilitas dalam tubuh umat setelah sebelumnya Ibnu Saba’dan Sabaiyahnya melancarkan konspirasi dan provokasinya guna menghancurkan Islam dari dalam. Pada masa kekepemimpinan Ali ra. ini, Ibnu Saba dan Sabaiyah nya pun kembali melancarkan konspirasi dan makar mereka, sehingga membuat keadaan menjadi semakin rumit. Diriwayatkan bahwa pada akhirnya ‘Ali ra. membakar banyak dari pengikut Sabaiyah ini dan juga mengasingkan Ibnu Saba’ ke Al-Madain. Sahabat yang lahir dalam keprihatinan dan meninggal dalam Kesunyian. Dialah, khalifah Ali bin Abi Thalib ra. Ali kecil adalah anak yang malang.

 

Namun, kedatangan Muhammad Saw telah memberi seberkas pelangi baginya. Ali, tidak pernah bisa bercurah hati kepada ayahnya, Abi Thalib, selega dia bercurah hati kepada Rasulullah. Sebab, hingga akhir hayatnya pun, Abi Thalib tetap tidak mampu mengucap kata syahadat tanda penyerahan hatinya kepada Allah. Ayahnya tidak pernah bisa merasa betapa nikmatnya saat bersujud menyerahkan diri,kepada Allah Rabb semesta sekalian alam. Kematian ayahnya tanpa membawa sejumput iman begitu memukul Ali. Kelak dari sinilah, dia kemudian bertekad kuat untuk tidak mengulang kejadian ini buat kedua kali.

 

Dia ingin, saat dirinya harus mati nanti, anak-anaknya tidak lagi menangisi ayahnya seperti tangis dirinya untuk ayahnya, Abi Thalib. Tak hanya dirinya, disebelahnya, Rasulullah pun turut menangisi kenyataan tragis ini…saat paman yang selama ini melindunginya, tidak mampu dia lindungi nanti…di hari akhir,karena ketiaadaan iman di dalam dadanya. Betul-betul pahit, padahal Ali tahu bahwa ayahnya sangatlah mencintai dirinya dan Rasulullah. Saat ayahnya, buat pertama kali memergoki dirinya sholat berjamaah bersama Rasulullah, dia telah menyatakan dukungannya. Abi Thalib berkata, “”Janganlah kau berpisah darinya (Rasulullah), sebab ia tidak mengajakmu kecuali kepada kebaikan”.

 

Sejak masih berumur 6 tahun, Ali telah bersama dan menjadi pengikut setia Rasulullah. Sejarah kelak mencatat bahwa Ali terbukti berkomitmen pada kesetiaannya. Dia telah hadir bersama Rasulullah sejak awal dan baru berakhir saat Rasulullah menghembuskan nafasnya yang terakhir. Ali ada disaat yang lain tiada. Ali adalah tameng hidup Rasulullah dalam kondisi kritis atau dalam berbagai peperangan genting, saat diri Rasulullah terancam.

 

Kecintaan Ali pada Rasulullah, dibalas dengan sangat manis oleh Rasulullah. Pada sebuah kesempatan dia menghadiahkan kepada Ali sebuah kalimat yang begitu melegenda, yaitu : “Ali, engkaulah saudaraku…di dunia dan di akhirat…” Ali, adalah pribadi yang istimewa. Dia adalah remaja pertama di belahan bumi ini yang meyakini kebenaran yang disampaikan oleh Rasulullah. Konsekuensinya adalah, dia kemudian seperti tercerabut dari kegermerlapan dunia remaja. Disaat remaja lain berhura-hura. Ali telah berkenalan dengan nilai-nilai spiritual yang ditunjukkan oleh Rasulullah, baik melalui lisan atau melalui tindak-tanduk beliau. “Aku selalu mengikutinya (Rasulullah Saw) sebagaimana anak kecil selalu membuntuti ibunya. Setiap hari dia menunjukkan kepadaku akhlak yang mulai dan memerintahkanku untuk mengikuti jejaknya”, begitu kata Ali mengenang masa-masa indah bersama Rasulullah tidak lama setelah Rasulullah wafat.

 

 

Amirul mukminin Ali ra, tumbuh menjadi pemuda yang berdedikasi. Dalam berbagai forum serius yang dihadiri para tetua, Ali selalu ada mewakili unsur kepemudaan. Namun, muda tidak berarti tidak bijaksana. Banyak argumen dan kata-kata Ali yang lalu menjadi rujukan. Khalifah Umar bahkan pernah berkata,”Tanpa Ali, Umar sudah lama binasa” Pengorbanannya menjadi buah bibir sejarah Islam. Ali-lah yang bersedia tidur di ranjang Rasulullah, menggantikan dirinya, saat rumahnya telah terkepung oleh puluhan pemuda terbaik utusan kaum kafir Quraisy yang hendak membunuhnya di pagi buta.

 

 

Ali bertaruh nyawa. Dan hanya desain Allah saja semata, jika lalu ia masih tetap selamat, begitu juga dengan Rasulullah yang saat itu ‘terpaksa’ hijrah ditemani Abu Bakar seorang. Keperkasaan Ali tiada banding. Dalam perang Badar, perang pertama yang paling berkesan bagi Rasulullah (sehingga setelahnya, beliau memanggil para sahabat yang ikut berjuang dalam Badar dengan sebutan ” Yaa…ahlul Badar…”), Ali menunjukkan siapa dirinya sesungguhnya. Dalam perang itu dia berhasil menewaskan separo dari 70an pihak musuh yang terbunuh. Hari itu, bersama sepasukan malaikat yang turun dari langit, Ali mengamuk laksana badai gurun. [ ]

5

Dihimpun dari berbagai sumber

Redaktur: haris

Editor: iman

Ilustrasi foto: khazanah intelektual

890

Follow juga akun sosial media percikan iman di:

Instagram : @percikanimanonline

Fanspages : Percikan Iman Online

Youtube : Percikan Iman Online

Twitter: percikan_iman