Asuransi Kebakaran Rumah, Bagaimana Hukumnya?

0
664

Assalamu’alaykum. Pak Aam, bagaimana hukum asuransi (misal asuransi kebakaran rumah) dalam Islam mengingat jika dalam jangka waktu tertentu tidak terjadi (misalnya) kebakaran rumah maka uang disetorkan tiap bulan akan hangus dan sebaliknya kalau kebakaran terjadi maka kita akan mendapatkan penggantian sesuai dengan perjanjian yang disepakati? Apakah hal itu termasuk riba atau bukan serta bagaimana status kehalalannya?Bagaimana dengan syariah? Mohon penjelasannya. (Vina via inbox fb)

 

 

Wa’alaykumsalam. Wr Wb. Iya Ibu Vina, mojang bujang dan sahabat-sahabat sekalian. Bahasan asuransi ini sepertinya sudah kita jelas sebelumnya. Namun untuk mengingatkan kembali bagi yang sudah membaca dan yang belum mengerti, coba kita bahas lagi.

 

Begini, berbicara mengenai asuransi, kita tidak hanya akan menemukan asuransi kebakaran rumah tapi juga asuransi pendidikan, kesehatan, kendaraan, dan lain sebagainya. Pada zaman Rasul Saw., hal seperti ini belum ada sehingga wajar kalau kemudian pendapat para ulama mengenai hukum asuransi ini terbelah menjadi dua.

 

Pendapat pertama ada yang setuju karena kita diharuskan untuk selalu mengantisipasi apa pun yang akan terjadi, baik kepada diri maupun keluarga kita. Bahkan, asuransi jiwa secara terang-terangan diperbolehkan karena ada ayat yang mengatakan,

 

 

“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (Q.S. An-Nisaa [4]: 9)

 

Inilah dalil yang digunakan oleh kelompok ulama yang menghalalkan asuransi. Jadi, mengukuti asuransi pendidikan, kendaraan, rumah (dari kebakaran), dan lain-lain adalah sesuatu yang dianjurkan oleh agama supaya kita bersikap antisipatif, hukumnya boleh.

 

Kedua , ada juga kelompok yang mengatakan menyatakan bahwa asuransi itu haram. Hal ini dikarenakan ketidakjelasan uang yang dipakai untuk membayar klaim asuransi kepada nasabah yang mobilnya hilang atau rumahnya kebakaran. Nasabah yang bersangkutan bisa saja baru membayar premis asuransi sebesar Rp. 5 juta tapi kemudian mendapat penggantian dana pengobatan (misalnya) yang jumlahnya mencapai 3 sampai 4 kali lipat itu. Ketidakjelasan mengenai sumber uang tersebutlah yang kemudian membuat asuransi diharamkan.

 

Pendapat mana yang harus kita ambil? Kedua pendapat tersebut merupakan ijtihad. Dalam ijtihad, para ulama dan ahli (hukum fiqih) mencurahkan segala pemikiran untuk menjawab persoalan-persoalan baru. Nah dalam menyikapi ijtihad, semua dikembalikan pada keyakinan kita masing-masing.

 

Kalau kita mau mengambil pendapat yang mengatakan bahwa asuransi itu halal hukumnya, ya dipersilahkan dan itu sah-sah saja. Tapi kalau kita ragu dan lebih cenderung pada pendapat yang mengharamkan asuransi, ya jangan ikut asuransi dan mencari solusi lain untuk mengatasi resiko kebakaran rumah atau kehilangan kendaraan. Sepengetahuan saya, saat ini telah berkembang model asuransi syariah yang semoga saja dapat menjadi solusi bagi Anda yang meragukan kehalalan asuransi konvensional. Asuransi syariah berbeda dengan asuransi konvensional, salah satunya adanya Dewan Syariah Nasional (DSN) yang berperan  memberi masukan setiap produk yang akan dipasarkan. Sementara di asuransi konvensional tidak ada DSN.

 

BACA JUGA: Hukum Gadai Emas Dalam Islam

 

Jadi, bagi yang belum mengikuti asuransi, Anda bisa memilih asuransi syariah untuk lebih menentramkan dari segi keyakinan. Setahu saya di asuransi syariah tidak semua uang yang disetorkan akan hangus. Modelnya seperti tabungan, jadi kalau selama masa asuransi tidak ada klaim maka diakhir masa asuransi sesuai perjanjian atau masa cover uang yang disetorkan bisa diambil. Ini salah satu alternatif dalam bermuamalah lewat asuransi.

 

Bagi yang sudah terlanjur ikut asuransi konvensional, ya teruskan saja karena memang permasalahan ini berada di wilayah ijtihad. Kalau ijtihad yang kita ambil ternyata benar, maka nilainya adalah satu; dan kalau ijtihad yang kita ambil ternyata salah, maka nilainya adalah dua. Keduanya akan tetap bernilai pahala, hanya saja poinnya ada yang bernilai satu dan ada pula yang bernilai dua. Namun kalau Anda masih ragu dengan yang konvensional, ya tentu saja Anda bisa berhenti atau keluar agar Anda tentram. Jadi intinya lakukan yang menentramkan dan tinggalkan yang meragukan. Demikian penjelasannya semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.[ ]

 

5

Editor: iman

Ilustrasi foto: norman

964

 

Sampaikan pertanyaan Anda melalui alamat email:  [email protected]  atau melalui Fans Page Facebook Ustadz Aam Amiruddin di link berikut ini : https://www.facebook.com/UstadzAam/