Pak Aam, saya baru saja menolong atau membantu teman dan awalnya merasa ikhlas. Namun setelah tahu bagaimana bantuan saya tersebut digunakan, saya merasa jadi tidak ikhlas karena merasa dibohongi. Bagaimana agar apa yang kita lakukan senantiasa dalam keikhlasan? Kadang kita sering mendengar orang berkata “ikhlas” dalam berbuat, itu dibolehkan tidak?. Terima kasih ( Elisa by email)
Ibu Elisa dan pembaca sekalian. Rasanya kita percaya bahwa hingga hari ini belum ada orang maupun alat yang mampu mengukur tingkat keikhlasan seseorang dalam berbuat. Bahkan ikhlas sendiri tak dapat didefinisikan dalam ilmu pengetahuan, buku-buku dan lembaran-lembaran kertas sehingga apapun yang kita definisikan tentang ikhlas itu hanya kulitnya saja. Mungkin ada yang berkata bahwa ikhlas itu perbuatan tanpa pamrih dan sebagainya akan tetapi itu sulit mengukurnya.
Ikhlas adalah samudera yang kedalamannya tak pernah terukur oleh manusia maupun alat deteksi secanggih apapun. Intisari ikhlas adalah misteri yang tak terpecahkan oleh manusia. Tak akan ada yang tahu kedalaman ikhlas kecuali pelakunya sendiri dan Allah SWT Yang Maha Tahu, bahkan dirinya sendiri terkadang masih tertipu dengan ikhlas yang diniatkan karena masih ada niat lain yang ia sendiri tidak sadari.
Ikhlas adalah pondasi dalam beramal karena segala sesuatu yang kita kerjakan oleh Allah Swt hanya akan dinilai dari niatnya. Seseorang yang beramal hasilnya kelak oleh Allah Swt hanya akan dinilai dari niatnya, apakah ikhlas karena mengharap ridho-Nya atau ada niat lain. Bab niat ini haditsnya sering kit abaca atau dengar,
“Sesungguhnya setiap amalan harus disertai dengan niat. Setiap orang hanya akan mendapatkan balasan tergantung pada niatnya. Barangsiapa yang hijrah karena cinta kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya akan sampai kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang hijrahnya karena menginginkan perkara dunia atau karena wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya (hanya) mendapatkan apa yang dia inginkan.” (HR. Bukhari )
Pentingnya niat ikhlas karena Allah harus kita jaga dalam setiap beramal dan mengerjakan kebaikan lainnya. Seluruh waktu dalam kehidupan yang kita miliki saat ini adalah kesempatan untuk mengumpulkan bekal perjalanan abadi kelak disisi Allah. Dalam Al Quran telah Allah tegaskan bahwa kita harus membuat amal terbaik,
“Allah yang menciptakan kematian dan kehidupan dalam rangka menguji kalian; siapakah di antara kalian orang yang terbaik amalnya.” (QS. al-Mulk: 2)
Beberapa ahli tafsir (mufasirin) menafsirkan makna ‘yang terbaik amalnya’ yaitu ‘yang paling ikhlas dan paling benar’. Apabila amal itu ikhlas namun tidak benar, maka tidak akan diterima. Tentu saja benar disini adalah yang ada tuntunannya baik Al Quran maupun hadits.
Ada beberapa faktor yang bisa membentuk keikhlasan kita dalam beramal:
- Lebih mengutamakan keridhoan Allah, bukan penilaian manusia.
- Berusaha mensejajarkan amaliah lahir dengan amaliah batin.
- Memposisikan pujian dan celaan secara sederajat.
- Tidak memandang diri sebagai orang ikhlash. Sehingga ta’ajub kepada diri sendiri.
- Sangat yakin akan adanya pengadilan Allah yang Maha Adil
- Berusaha menghindarkan diri dari jiwa pamer atau riya.
Sebaiknya kita jangan sibuk mencari atau menilai seseorang itu ikhlas atau tidak dalam beramal atau berbuat kebajikan termasuk kepada kita. Soal ikhlas itu biarlah menjadi urusan dirinya dan Allah Swt. Jika Anda yang beramal awalnya ikhlas namun setelah tahu orang yang ditolong menjadi tidak atau kurang ikhlas maka segeralah beristighfar dan kembalikan pada niat awal. Jangan berubah niat hanya karena mengetahui jati dirinya dan jangan rusak niat dan amal kita hanya karena orang lain. Wallahu’alam. [ ]
Editor: iman
Ilustrasi foto: sly
Sampaikan pertanyaan Anda melalui alamat email [email protected] atau melalui i Fans Page Facebook Ustadz Aam Amiruddin di link berikut ini : https://www.facebook.com/UstadzAam/ .