Ding Dong Dang…
Bunyi lonceng jam antik memecah kekhusyuan ceramah jumat. Saya tak habis pikir, kenapa di beberapa masjid jam antik model seperti selalu ada. Ciri-cirinya khas; terbuat dari kayu, tinggi, jarum jam berwarna emas, terdapat bandul mekanik, dan selalu berbunyi setiap jam dua belas. Biasanya diletakan di sebelah mimbar khatib, tak jarang ukurannya begitu besar. Jam antik dengan model desain abad pertengahan itu bak primadona dengan ukiran halus. Meski tak ada larangan menaruh jam seperti itu di masjid, tapi loncengnya membuat saya bertanya-tanya.
Bukankah bunyi lonceng merupakan identitas agama lain? Saya jadi teringat suatu kisah. Ketika umat Islam kebingungan dengan tanda saat shalat akan dimulai. Tepatnya tahun kedua Hijriah, saat komunitas Muslim mulai terbentuk di Madinah. Kala itu, pemeluk Islam sudah cukup banyak. Mereka tengah kesulitan memberitahu muslim lain jika waktu shalat sudah dimulai. Rasul memimpin musyawarah dan mengumpulkan para sahabat. Diskusi pun dimulai, beberapa saran dilayangkan.
Ada yang mengusulkan agar sebelum shalat dimulai ditiupkan terompet keras-keras agar terdengar ke penjuru kota. Tapi, Rasul menolaknya. Karena meniup terompet adalah kebiasaan dan budaya orang Yahudi. Berikutnya mengusulkan agar dinyalakan api agar orang-orang dapat melihat asapnya sebagai penanda waktu shalat. Rasul juga menolaknya, karena menyalakan api adalah budaya kaum Majusi. Lalu, seseorang mengajukan untuk membunyikan lonceng yang cukup besar. Lagi-lagi Rasul menolaknya. Karena lonceng dan membunyikannya adalah budaya Nasrani. Rasul tidak ingin bila seruan untuk shalat menyerupai budaya agama lain.
Umar bin Khatab, yang ketika itu mengikuti musyawarah memberi saran yang cukup bagus. Dia berpendapat agar ditunjuk seseorang untuk menyeru umat untuk shalat. Saran ini diterima oleh Rasul. Tapi, mereka belum menemukan kalimat yang pas dalam seruan itu. Musyawarah pun ditutup hari itu. Keesokan harinya, Abdullah bin Zaid mendatangi Rasul dan bercerita perihal mimpinya semalam. Ia mengatakan seseorang mengajariny cara mengumandangkan adzan. “Itu mimpi yang sebetulnya nyata. Berdirilah disamping Bilal dan ajarilah dia bagaimana mengucapkan kalimat itu,” jawab Rasul (dalam HR. Abu Daud). Sejak saat itu adzan dikumandangkan.
Dari kisah itu, kita bisa lihat betapa Rasul sangat berhati-hati memutuskan satu perkara. Sikap ‘mengekor’ atau cuma ikut-ikutan jelas bukan budaya Islam. “Berdiri di atas kaki sendiri” itulah ciri umat Islam. Lagipula, Rasul telah mengingatkan kepada kita bahwa mengikuti suatu kaum itu tidak dibenarkan. Rasul bersabda, “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk darinya.” (HR. Abu Daud). Lonceng, api, dan terompet bukan berasal dari Islam, melainkan ciri khas umat lain. Meniru dan menggunakan simbol-simbol mereka jelas dilarang.
Larangan Tasyabbuh
Tasyabbuh dalam Islam dimaknai sebagai perbuatan meniru-niru. Adapun secara syariat, Tasyabbuh berarti menyerupai orang kafir dalam hal akidah, ibadah, adat-istiadat, atau cara hidup. Kegiatan meniru ini banyak macamnya. Mulai dari yang sekadar ikut-ikutan, hingga mereka yang secara sadar melakukannya. Misalkan, ikut merayakan atau mengucapkan hari raya agama lain. Menggunakan simbol-simbol/barang yang menjadi identitas agama lain. Sampai mengikuti pola hidup dan gaya umat lain, baik yang disadari maupun tidak.
Para ulama sepakat bahwa tasyabbuh perihal urusan akidah dan syariat adalah haram. Baik itu berupa perilaku, tindakan, atau hanya penggunaan simbol saja. Sedangkan tasyabbuh yang di luar itu sifatnya mubah. Misalkan, penggunaan handphone atau komputer. Kedua barang ini tidak merepresentaskan simbol keagamaan tertentu. Selain itu, perangkat teknologi bukanlah milik satu kaum sehingga tidak mencari ciri khas kaum tertentu.
Tetapi bila sudah lonceng dan terompet lain lagi ceritanya. Keduanya punya makna tersendiri, serta memiliki nilai historis dan religi bagi agama lain. Nah, bila sudah merujuk pada simbol-simbol keagamaan kita jelas-jelas dilarang untuk menyerupai. Bukankan setiap hari kita selalu berdoa kepada Allah, “Tunjukan kepada kami jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat, bukan jalan mereka yang murkai, dan bukan pula jalan mereka yang sesat,” (QS. Al Fatihah : 6-7).
Mau taruh ‘lonceng’ di masjid? Pikir dua kali deh.