Berhati-hatilah Soal Utang Piutang, Islam Serius dalam Perkara Ini

0
438

PERCIKANIMAN.ID- Utang-piutang dan masyarakat tak bisa dipisahkan dan sangat wajar. Apalagi di era seperti sekarang, yang katanya tak mungkin menghindari utang (sebenarnya bisa). Perkara utang-piutang dalam Islam punya porsi tersendiri. Beberapa ulama bahkan memposisikan utang-piutang sebagai perkara yang sangat serius. Tengok saja sabda Rasul, “Akan diampuni orang yang mati syahid semua dosanya, kecuali hutangnya” (HR. Muslim)

Bahkan Rasul tak mau menyalatkani jenazah orang yang masih berutang! Diriwayatkan oleh Jabir, suatu ketika seseorang diantara mereka ada yang wafat. Selepas dimandikan dan dikafani mereka pergi kehadapan Rasul seraya berkata, “Apakah Engkau bersedia menyalatkan jenazahnya?” Rasul kemudian bertanya, “Adakah utang atasnya?” Mereka menjawab, “Dua dinar.” Lalu Rasul berpaling.

Abu Qatadah datang untuk menanggung pembayaran dua dinar itu, “Dua dinar itu menjadi tanggungan saya.” Rasul kembali bertanya, “Apakah betul engkau akan menanggung pembayaran utang itu sehingga ia terlepas dari tanggungan itu?” Abu Qatadah berkata, “Benar, ya Rasulullah.” Setelah itu Nabi SAW menyalatkan jenazahnya. (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan an-Nasa’i). Begitu beratkah perkara utang-piutang dalam Islam?

Islam sebenarnya tidak melarang utang-piutang, tetapi pelaksanaannya diatur. Maksudnya bukan untuk membatas-batasi seseorang, tetapi untuk melindungi orang itu dari ‘bencana’ finansial. Pinjaman bisa saja menjadi solusi bagi beberapa orang. Tapi bila tak bijak dan cermat, utang bisa saja berbuah petaka. “Karena itu kita harus cerdas dalam mengelola utang piutang,” tegas Guru Besar Ilmu Agama Islam Institut Pertanian Bogor (IPB) , Didin Hafidhuddin. Ia mengingatkan umat agar lebih berhati-hati saat ingin berutang.

Ayat terpanjang dalam Al Quran adalah ayat 282 dari Surat Al Baqarah. Oleh para ulama ayat ini disebut sebagai Ayat al-Mudayanah alias ayat utang-piutang! Isinya berbicara tentang anjuran/ kewajiban menuliskan urusan utang-piutang. Juga keharusan diketahui oleh saksi/ notaris, serta menentukan tenggat waktu pelunasannya. “Tak peduli besar atau kecil utangnya meskipun dengan saudara sendiri sekalipun,” tutur Didin.

Pada uraian sebelumnya Al Quran memaparkan tentang anjuran sedekah dan infak (QS Al Baqarah : 271-274), disusul larangan melakukan riba (QS Al Baqarah : 275-279), hingga anjuran memberi tangguhan bagi yang tak mampu bayar utang (QS Al Baqarah : 280). Semua paparkan secara sistematis dan terperinci. Didin menerangkan, perhatian Islam terhadap ekonomi sangat luar biasa.
Uraian Al Quran dalam Surat Al Baqarah itu punya makna tersendiri. Anjuran infak dan sedekah menunjukan pentingnya pembangunan ekonomi berbasis kemasyarakatan. Sehingga kekuatan ekonomi umat tidak akan bergantung dengan pihak luar. Larangan riba mengisyaratkan kemurnian harta dari hal-hal yang bersifat merugikan. Kita sudah sama-sama saksikan bagaimana riba membuat ekonomi umat carut-marut.

Terakhir adalah pendidikan notulensi dalam perkara utang-piutang. “Bukan hanya untuk mengingatkan, catatan juga harus punya kekuatan secara hukum.” Lebih lanjut, Didin menjelaskan catatan sejatinya akan memelihara harta. Selain mudah di cek ulang, catatan juga bisa memberi rasa aman dan keadilan bagi kedua belah pihak. Bukankah keadilan ini yang kita dambakan? Yakni ketika kedua belah pihak mendulang manfaat yang sama. Maka dalam berutang haruslah diniatkan untuk saling membantu dan mendorong roda perekonomian umat.

Masalah yang muncul sekarang adalah pola konsumsi masyarakat yang mulai tidak rasional. Utang pun kerap dianggap biasa, bahkan ada yang bilang sebagai sebuah kebutuhan. Hal ini jelas keliru. “Lihat saja sekarang orang dengan mudah berutang dengan kartu kredit atau angsuran ringan,” ungkap Didin.

Meski tak terasa, utang kecil seperti itu bila tidak dikelola dengan baik malah akan merugikan. Tak jarang orang rela berutang cuma ingin beli handphone baru. Banyak juga yang berutang untuk hal yang tidak perlu dan mendesak.

Konsumerisme dan budaya hedon membuat utang nampak indah dan mudah. “Inilah realitas yang terjadi sekarang kita tak bisa memungkiri hal itu.” Guna mencegah ‘bencana’ finansial yang lebih besar, Didin mewanti-wanti masyarakat agar tak mudah berutang. Meski kita sulit lepas dari utang-piutang, minimalnya kita bisa mengurangi prakteknya.

Misalkan, tidak meminjam untuk keperluan konsumsi. Gunakanlah utang untuk keperluan produksi atau modal usaha. Sehingga utang kita akan lebih produktif dan terukur untuk urusan pelunasan. Perhatikan penghasilan rutin atau sarana pengembalian utang. Jangan pernah berpikir untuk melunasi utang dengan utang baru! Apalagi menggunakan harta yang ‘kotor’ untuk melunasi utang. Mental ‘gali lobang tutup lobang’ jelas-jelas berbahaya dan sudah banyak korbannya. Lakukanlah manajemen keuangan yang sehat. Periksa arus kas keluarga, jangan meminjam uang yang lebih besar ketimbang penghasilan.

Berutang hanya saat terdesak adalah langkah yang tepat. Tidak mudah tergiur dengan tawaran cicilan atau utang-utang ringan merupakan tindak nyata yang bisa kita lakukan. Meski sepele hal ini mampu menyelamatkan kita dari ‘jurang’ utang. Sudah sepatutnya tuntunan agama mengajarkan manusia kebaikan, melahirkan ketenangan sekaligus harga diri. Karena itu Islam sangat menganjurkan umatnya agar selalu berhati-hati dalam urusan utang.

Jangan Berutang Bila Tak Mau Bayar!

Anda pernah mendapai orang seperti itu? Datang dengan bergelimang air mata seolah beban hidupnya yang paling luar biasa. Setelah mendapat ‘angin segar’ berupa pinjaman uang dari kita, ia menghilang ditelan bumi. Kalaupun ada, sangat sulit dihubungi. Bila bisa ditemui atau dihubungi alasannya seribu satu. Sub-judul tulisan ini ada betulnya, tak perlu berutang bila niat kita sudah tidak baik. Tentu niat semula baik, tapi apa daya dalam perjalanan banyak rencana berubah, kata orang-orang.

Nah, itulah pentingnya manajemen keuangan yang sehat. Lagipula, niat yang baik sudah pasti akan diteruskan dengan amal (perbuatan) baik pula. “Utang adalah kewajiban yang perlu kita selesaikan selama hidup di dunia,” kata Didin. Karena itu ada hadist yang menyatakan bahwa jiwa seseorang mukmin ‘bergantung’ sampai hutangnya dilunasi. Dengan niat baik untuk melunasi utang, setidaknya seseorang akan mempersiapkan langkah-langkah konkretnya.

Kebiasaan yang mungkin terjadi pada beberapa orang di masyarakat kita adalah membayar utang saat tanggal jatuh tempo. Padahal menyegerakan melunasi utang adalah kebaikan. Bahkan, bila seseorang sudah mampu melunasi tapi masih menundanya adalah sebuah kezhaliman. Karena itu segera dahulukan melunasi utang sebelum keperluan lain yang tidak mendesak.

***

Jika kita mau lebih cermat, sebenarnya kita punya “utang” yang lebih hakiki dalam hidup. Yakni utang kita kepada Allah SWT. Bukankah selama ini kita telah diberi karunia yang begitu besar selama hidup? Seharusnya kita “membayar” hutang kita itu. Tentu dunia dan seisinya tak mungkin cukup membayar semua itu. Karena itulah kita membayarnya dengan menjalankan syariat agama Islam serta ikhlas di dalamnya. Kehadiran manusia ‘menyerahkan’ diri kepada-Nya adalah bukti pengakuan tentang ‘utangnya’. Inilah sikap terbaik dari seseorang yang berutang. Bersyukurlah, Allah telah meridhoi Islam sebagai agama kita (QS Al Maidah : 4). []