Apa Saja Syarat Poligami dalam Islam?

0
425

4.  Tidak menimbulkan huru-hara di kalangan istri maupun anak-anak.

Jadi, suami mestinya yakin bahwa perkawinannya yang baru ini tidak akan menganggu serta merusak kehidupan istri serta anak-anaknya. Karena, diperbolehkannya poligami dalam Islam adalah untuk menjaga kepentingan semua pihak. Jika kepentingan ini tidak dapat dijaga dengan baik, maka seseorang yang berpoligami pada saat itu adalah berdosa.

5.  Mampu atau berkuasa menanggung nafkah.

Yang dimaksudkan dengan nafkah di sini adalah nafkah lahir, sebagaimana Rasulullah saw. bersabda;
“Wahai sekalian pemuda, siapa diantara kamu yang mampu mengeluarkan nafkah, maka hendaklah kamu menikah. Dan siapa yang tidak mampu, hendaklah berpuasa.”

Hadis di atas menunjukan bahwa Rasulullah saw. menyuruh setiap kaum laki-laki supaya menikah tetapi dengan syarat sanggup mengeluarkan nafkah kepada istrinya. Andaikan mereka tidak berkemampuan, maka tidak dianjurkan menikah walaupun dia seorang yang sehat secara lahir dan batinnya. Oleh karena itu, untuk menahan nafsu seksnya, dianjurkan untuk berpuasa. Jadi, kalau dengan seorang istri saja sudah kepayahan untuk memberi nafkah, sudah tentukah Islam melarang orang yang demikian itu berpoligami. Memberi nafkah kepada istri adalah wajib semenjak berlakuknya suatu perkawinan, ketika suami telah memiliki istri secara mutlak. Begitu juga si istri wajib mematuhi serta memberikan perkhidmatan yang diperlukan dalam pergaulan sehari-hari.

Nah, jelas bahwa pria yang ingin melakukan poligami hendaknya adalah seorang yang bertakwa, takut kepada Allah dalam keadaan sendiri ataupun terlihat orang, ia juga harus bersikap adil dan jujur dalam mempraktekannya. Pria tersebut hendaknya bersikap cerdas, pintar berhitung, atau dengan kata lain hendaklah ia mengulang-ulang perhitungannya seribu kali serta mengukur kebutuhan dan kemampuannya untuk berpoligami.

Masalahnya sekarang adalah, bila hal ini menimpa kita, kaum istri, ada satu pertanyaan yang mesti kita ajukan: Apakah suami kita yang menyatakan dengan tegas atau minta ijin atas keputusannya untuk berpoligami? Jika tidak, kita pun berhak memutuskan sesuatu yang penting untuk hidup kita, karena memang tidak ada dalil syar’i yang mengharuskan kita memberikan ijin kepadanya.

Dengan model poligami yang banyak diterapkan saat ini, yang rata-rata kehilangan dasar-dasarnya yang kuat, saya berpesan terutama kepada wanita yang akan dijadikan istri kedua, hendaknya harus mengingat perasaan sesama wanita, karena itu layak dijadikan pertimbagan utama.

Karena bagi sebagian wanita, bagaimanapun yang namanya ‘dimadu’ itu menyakitkan bagi dirinya, selain juga menyakiti hati orangtuanya. Tetapi, jika memang sebagai istri kita bisa menerima suami melakukan poligami dengan lapang dada dan sanggup beradaptasi dalam naungan keluarga poligami, hendaklah ia berserah diri.